KOMPAS.com - Peringatan UNESCO agar pembangunan lokasi wisata Taman Nasional Komodo, di NTT, dihentikan, karena dikhawatirkan melanggar prinsip dasar konservasi, membuka kembali polemik seputar desain pembangunan industri wisata di kawasan konservasi itu.
Para pegiat lingkungan meminta agar pemerintah Indonesia merombak total apa yang mereka sebut sebagai rancangan pembangunan industri wisata di kawasan itu yang dinilai telah menyalahi prinsip dasar konservasi, lingkungan dan azas kemanfaatan bagi masyarakat setempat.
"Ketika pemerintah menjadikan ini kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami, maka komodo akan semain rentan terhadap climate crisis (krisis iklim)," kata Cypri Jehan Paju Dale, antrolopog yang pernah meneliti komodo di kawasan itu, Kamis (5/8/2021) sore.
Baca juga: Walhi NTT Minta UNESCO Turun Langsung ke TN Komodo Terkait Penghentian Pembangunan Proyek
"Karena, habitat alaminya [komodo] yang sangat khusus, intervensi manusia akan sangat tinggi," tambah Cypri kepada BBC News Indonesia melalui saluran zoom.
Para pegiat lingkungan dan konservasi, serta didukung sebagian masyarakat setempat, telah menyuarakan penolakan terhadap proyek kontroversial itu setidaknya sejak empat tahun lalu.
Namun pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeklaim pemberian izin wisata Taman Nasional Komodo kepada sejumlah perusahaan swasta "dibolehkan" dan berkomitmen untuk tetap melibatkan masyarakat setempat.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, juga mengatakan pembangunan proyek yang sebagian besar telah selesai tetap dilanjutkan, termasuk di Pulau Rinca yang sudah mencapai 95%.
Baca juga: Legenda Putri Naga dan Majo di Taman Wisata Komodo
Wiratno juga mengeklaim pembangunan infrastruktur 'Jurassic Park Komodo' seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca - yang dikritik pegiat lingkungan dan konservasi sebagai "kebun binatang" - justru untuk melindungi komodo.
Ia juga mengatakan pembangunan proyek wisata ini melibatkan masyarakat setempat.
"Makanya, di Kampung Komodo, mereka [masyarakat setempat] sekarang juga diajak terlibat semua bisnis turis ini, jangan hanya jadi penonton," kata Wiratno kepada BBC News Indonesia, Kamis malam.
Wiratno tak menyebutkan nama perusahaan yang mendapat konsesi di kawasan itu, namun dalam keterangannya kepada media pada Oktober tahun lalu, dia menyebut setidaknya tiga perusahaan swasta yang sudah mengantongi izin.
Baca juga: Mandalika Disorot PBB karena Langgar HAM, Kini UNESCO Minta Proyek TN Komodo Dihentikan
Disebutkan, PT SKL mendapat izin mengelola 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca. Lalu PT KWE memperoleh izin mengelola lahan 151,9 Hektar di Pulau Komodo dan 274 hektar di Pulau Padar.
Pemerintah dilaporkan pula memberi izin kepada PT SN untuk berbisnis di atas lahan seluas 15,3 Ha di Pulau Tatawa.
Wiratno menegaskan pula bahwa renovasi infrastruktur di Loh Buaya "akan terus dilanjutkan".
"Dan dijadwalkan pada Desember 2021 akan selesai," tandasnya.
Pembangunan di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, yang saat ini sudah mencapai 95%, pernah menjadi sorotan, setelah beredar foto seekor komodo tengah menghalangi truk pengangkut material bangunan viral di media sosial.
Baca juga: Polemik Penghentian Proyek Pariwisata di TN Komodo, Ini Kata KLHK dan Walhi
Kawasan TNK terdiri dari lima pulau besar dengan populasi komodo terbanyak berada di TNK Loh Liang yang terletak di Pulau Komodo, serta TNK Loh Buaya yang berada di Pulau Rinca.
Dalam Dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO Nomor WHC/21/44.COM/7B, yang diterbitkan setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO di Fuzhou, China, 16-31 Juli lalu, mereka beralasan proyek itu berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV).
Baca juga: UNESCO Minta Proyek TN Komodo Disetop, Pembangunan Harus Perhatikan Masyarakat dan Alam