"Agar bisa direview oleh IUCN dan WHC sebelum Sidang WHC ke-45 tahun 2022," jelasnya.
"Tapi sebelum [dokumen EIA] diperiksa, [UNESCO] sudah buat decision [berupa dokumen peringatan kepada Indonesia], dan kita tidak punya hak untuk menjelaskan," kata Wiratno.
Seharusnya, demikian kata Wiratno, UNESCO bertanya kepada pemerintah Indonesia untuk mencek ulang data yang dia dapatkan dari pihak lain.
Baca juga: Apresiasi Permintaan UNESCO, Walhi Minta Pemerintah Hentikan Proyek di TN Komodo
Gregorius Afioma, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace yang berbasis di Labuan Bajo menganggap klaim pemerintah bahwa mereka mengganti "sarana yang lama", telah mereduksi persoalan yang sebenarnya.
Menurutnya, pembangunan prasarana di Pulau Rinca telah mengubah "substansi dan paradigma pariwisata alam", di mana dia khawatir nantinya komodo akan seperti berada di kebun binatang.
"Kalau tidak ada rusa atau kerbaunya tidak bermain di arena itu, bagaimana komodo bisa ke sana. Otomatis nanti ada manipulasi treatment kepada komodo seperti perlakuan di kebun binatang," kata Gregorius kepada BBC News Indonesia, Kamis (05/08).
Dia juga khawatir pembangunan fisik di atas lahan itu akan mengubah lanskap di TNK yang merupakan ekosistem semua binatang yang ada di sana.
"Di lokasi yang dibangun bangunan itu, banyak komodo lalu-lalang," tambahnya.
Hal lain yang dia tekankan terkait 'perubahan paradigma wisata' di Pulau Rinca adalah dampaknya akan dirasakan masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan pada pendekatan wisata alam.
"Di mana nanti semua aktor atau pelaku pebisnis sudah secara sistematis diserahkan kepada korporasi dan pemodal besar, dan membatasi ekonomi kecil," ujar Gregorius.
Dampak buruk lainnya yang dia khawatirkan dari perubahan paradigma wisata ini adalah lebih memetingkan sisi ekonomi ketimbang konservasinya.
Itulah sebabnya, Gregorius Afioma mendukung keputusan UNESCO yang memperingatkan pemerintah Indonesia terkait pembangunan proyek wisata ambisius di kawasan TNK.
Dukungan juga disuarakan pegiat lingkungan Venan Haryanto dari Sunspirit for Justice and Peace, serta Cypri Jehan Paju Dale, antropolog yang pernah meneliti komodo di TNK.
Baca juga: Turis Indonesia Dominasi Kunjungan ke TN Komodo pada Januari-Mei
Mereka kemudian meminta agar pemerintah Indonesia melakukan evaluasi total seluruh grand design tentang TNK.
"Mulai lagi [rancangannya] dari awal dan ekonomi pariwisata berkelanjutan dan masyarakat lokal," kata Cypri pada Kamis malam kepada BBC News Indonesia.
Cypri kemudian menjelaskan bahwa komodo adalah binatang purba yang mampu bertahan dari evolusi panjang. Mereka hanya mampu bertahan di sejumlah pulau di TNK.
"Jadi ini ekosistem alami tempat survive-nya binatang purba, dan mereka mampu bertahan karena faktor alamnya yang khusus," jelasnya.
"Nah, ketika pemerintah menjadikan ini kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami, maka komodo akan semain rentan terhadap climate crisis (krisis iklim)," imbuh Cypri
"Karena, habitat alaminya [komodo] yang sangat khusus, intervensi manusia akan sangat tinggi," tambah antropolog dari Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.