“Tahun 1970 bikin roti buaya, karena banyak yang pesan untuk nikahan, ya bikin yang besar dan yang kecil,” kenang Emang.
Dalam kesehariannya, ia dibantu putrinya yang bernama Widowati. Terkadang putra-putri Widowati pun turut membantu menjaga toko beroperasi mulai pukul 9 pagi hingga pukul 9 malam.
“Ya kami segini saja. Di belakang ada tiga orang yang membuat roti sejak zaman dulu. Di depan ada saya dan Mbak Sri yang melayani. Emak biasanya datang jam 2 sore. Gantian sama aku,” ujar Widowati.
Baca juga: Perjalanan Sejarah di Sepiring Lontong Cap Go Meh
Ia juga menceritakan bahwa Engkong Tan Ing Hwat semasa hidupnya gemar sekali mengutak-atik resep.
Tak heran, di buku harian yang ditulis dalam bahasa Mandarin terselip catatan yang diberi judul "Resep Cake Tan Ing Hwat".
Bermacam cerita tentang perkembangan Ketandan Malioboro pun muncul dari ingatan Emak dan putrinya.
“Kami ya begini-begini saja. Kalau ada kejadian bencana di kota seperti ketika kampung Kantil kebakaran ya kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Sultan wafat dulu pun kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Engkong dan papine Engkong meninggal ya Sultan datang melayat,” kenang Emak.
“Pelanggan toko Djoen ini ya orang-orang kuno atau turunannya, sekarang ya begini ini. Mesin ya listriknya habis besar, tenaga yang bikin ya tinggal sedikit, kami bisanya begini,” ujar Widowati.
Ia berencana menambah meja di sudut tokonya agar pelanggan atau tamunya dapat bersantai makan roti sambil menikmati minuman rasa rootbeer khas Yogyakarta bermerek Sarparella.
Baca juga: Asal-usul Raja Ampat, Legenda Tujuh Telur dan Tuah Keramat Empat Raja
"Toko Djoen sudah punya nama besar, tur di toko roti ini bisa menarik sambil makan roti, sambil melihat proses pembuatannya dan mendengar cerita sejarah toko serta Yogyakarta," ujar Tendi.
"Dibuat storytelling-nya, rotinya dikemas tanpa plastik, bisa juga ada kafe sederhana dengan kreasi roti tawar Djoen dengan isian dan lainnya," kata dia.
"Mesin dan tungku jadulnya pun menarik, itu sejarah. Kuat nilai historisnya, layak dikunjungi wisatawan," ujar Tendi yang juga Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah Religi Seni Tradisi dan Budaya, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.
Baca juga: Bertahan Saat PPKM, Tukang Becak di Malioboro: Hidup di Kota Ini Susah...
"Mesin dan tungku yang sekarang itu makan energi besar. Bisa memakai mesin kecil dan bisa membuat roti beberapa kali produksi sehingga segar terus sampai malam, lebih efesien," ujarnya.
"Butuh bahan bakar banyak untuk tungku itu," ujar Widowati menimpali.