Salin Artikel

Berkunjung ke Toko Djoen, Mencicipi Rasa Khas Roti Lawas di Yogyakarta

Toko Djoen namanya, kini terkenal dengan nama Djoen Lama, terletak di Jalan Margo Mulyo No 78, Yogyakarta, atau tepat berada di ruas jalan kawasan Malioboro.

Diperkirakan toko legendaris tersebut sudah ada sejak tahun 1930-an.

Salah satu andalan toko Djoen adalah roti pisang yang diluncurkan pada tahun 1959 oleh sang pemilik, yakni Emak Hardinah (Hoo Ren Pin). Di tahun yang sama, Emak menikah dengan Haryono Waluyojati (Tan Ing Hwat).

“Aku ditembung (diminta dijodohkan). Dulu sebelum nikah di Semarang, aku yo suka roti pisang. Pas nikah di sini, ya terus bikin roti pisang. Sebelumnya cuma ada roti gula Jawa yang spekuk itu, roti sobek, roti rol,” ujar Emak, dikutip dari pemberitaan nationalgeographic.grid.id pada 22 Agustus 2019. Saat diwawancarai. Emak berusia 83 tahun.

Tak hanya menjual roti, toko tersebut dulunya juga menjual kebutuhan lainnya seperti odol dan sabun.

“Sing mbumboni ya Engkong. Aku mbumboni taun pitung puluh enem pas Engkong ninggal (yang membuat bumbunya ya Engkong. Aku baru membuat bumbu tahun 1976 setelah Engkong meninggal),” ujar Emak.

“Dulu toko roti ini besar, sekarang dibagi dua gedungnya. Dulu rak-rak ini banyak sampai toko sebelah. Isinya macem-macem, selain roti, ada stoples isi gula-gula, sampai 70 stoples. Rotinya macam-macam, juga jual sabun, odol,” ujar Emak berkisah.

“Dulu toko ini ya bikin roti banyak, dijual sampai Wonosari, Klaten, Sleman, Muntilan. Dibawa naik kol (mobil), nganter kue keliling,” kata Emak Hardinah yang menceritakan juga perkembangan aneka produk toko Djoen.

Emak bercerita, awalnya sang mertua, Tan Lian Ngau, ayahanda Tan Ing Hwat, membeli toko roti Djoen beserta peralatannya pada tahun 1930-an.

Kala itu toko Djoen masih memproduksi roti lawasnya, seperti: onbitjkoek (roti rempah ala Belanda), roti sobek polos, roti rol polos, dan roti semir.

Semua roti itu diproduksi sebelum era kemerdekaan.

Setelah tahun 1959, toko Djoen mengeluarkan beberapa varian baru legendaris selain roti pisang Emak. Tahun 1969, toko Djoen merilis biskuit Bagelen Roomboter dengan merek Meila Chandra.

“Meila itu artinya ‘nyempluk’, ‘nyenengke’, panggilan buat Widowati,” ujar Emak, menceritakan asal-usul nama kue bagelennya yang berasal dari nama panggilan putrinya.

“Tahun 1970 bikin roti buaya, karena banyak yang pesan untuk nikahan, ya bikin yang besar dan yang kecil,” kenang Emang.

Dalam kesehariannya, ia dibantu putrinya yang bernama Widowati. Terkadang putra-putri Widowati pun turut membantu menjaga toko beroperasi mulai pukul 9 pagi hingga pukul 9 malam.

“Ya kami segini saja. Di belakang ada tiga orang yang membuat roti sejak zaman dulu. Di depan ada saya dan Mbak Sri yang melayani. Emak biasanya datang jam 2 sore. Gantian sama aku,” ujar Widowati.

Tak heran, di buku harian yang ditulis dalam bahasa Mandarin terselip catatan yang diberi judul "Resep Cake Tan Ing Hwat".

Bermacam cerita tentang perkembangan Ketandan Malioboro pun muncul dari ingatan Emak dan putrinya.

“Kami ya begini-begini saja. Kalau ada kejadian bencana di kota seperti ketika kampung Kantil kebakaran ya kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Sultan wafat dulu pun kami cuma bisa nyumbang roti. Waktu Engkong dan papine Engkong meninggal ya Sultan datang melayat,” kenang Emak.

“Pelanggan toko Djoen ini ya orang-orang kuno atau turunannya, sekarang ya begini ini. Mesin ya listriknya habis besar, tenaga yang bikin ya tinggal sedikit, kami bisanya begini,” ujar Widowati.

Ia berencana menambah meja di sudut tokonya agar pelanggan atau tamunya dapat bersantai makan roti sambil menikmati minuman rasa rootbeer khas Yogyakarta bermerek Sarparella.

"Toko Djoen sudah punya nama besar, tur di toko roti ini bisa menarik sambil makan roti, sambil melihat proses pembuatannya dan mendengar cerita sejarah toko serta Yogyakarta," ujar Tendi.

"Dibuat storytelling-nya, rotinya dikemas tanpa plastik, bisa juga ada kafe sederhana dengan kreasi roti tawar Djoen dengan isian dan lainnya," kata dia.

"Mesin dan tungku jadulnya pun menarik, itu sejarah. Kuat nilai historisnya, layak dikunjungi wisatawan," ujar Tendi yang juga Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah Religi Seni Tradisi dan Budaya, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.

"Mesin dan tungku yang sekarang itu makan energi besar. Bisa memakai mesin kecil dan bisa membuat roti beberapa kali produksi sehingga segar terus sampai malam, lebih efesien," ujarnya.

"Butuh bahan bakar banyak untuk tungku itu," ujar Widowati menimpali.

Ya, dapur Toko Djoen istimewa!

Mesin lawas impor, tungku pembakaran raksasa, cetakan kuno yang bertahan selama lebih dari lima dekade, dan pekerja yang hafal resep tanpa catatan menjadi keistimewaan kisah Toko Djoen.

Namanya Agus. Rupanya ia dan orangtuanya adalah pelanggan tetap roti Djoen.

“Saya kenal Djoen ya sejak kecil, favorit saya ya roti pisang,” ujar Agus yang juga menantu keluarga pemilik sebuah restoran lawas ternama, Mahkota, restoran di Jalan Pajeksan yang terkenal dengan menu Mi Kakap.

“Ya beberapa kuliner di Ketandan dan Pajeksan yang kuno-kuno masih ada. Djoen, Mahkota, mi Ketandan. Oh iya, ada Li Djiong juga di dekat kelenteng Gondomanan,” ujar Agus sambil menambahkan bahwa kenangan masa kecilnya tentang Ketandan, pecinan Yogyakarta yang termasuk menjadi bagian kota tua.

Semoga Ketandan tetap lestari....

https://regional.kompas.com/read/2021/07/24/120500178/berkunjung-ke-toko-djoen-mencicipi-rasa-khas-roti-lawas-di-yogyakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke