Sebelum masa pandemi, Zaroti memang lebih mencurahkan waktunya di dunia seni dambus.
Zaroti menguasai seni tersebut dari hulu hingga hilir. Ia bisa membuat sendiri alat musik tersebut, sebagai pemain hingga vokal.
Sehingga tak mengherankan jika akhirnya Zaroti berhasil membentuk grup musik dambus "Tanjung Bunga".
Grup Tanjung Bunga pun sukses mendulang berbagai penghargaan.
Salah satunya pada tahun 2010 dinyatakan sebagai pemetik dan vokal terbaik dari Desa Kemuje, Bangka.
"Kalau dulu setiap minggu biasanya ada pementasan di dalam kota maupun luar daerah," ujar Zaroti.
Baca juga: Seniman Pasar Seni Ancol Bertahan Dihantam Pandemi, Banting Harga hingga Tidur di Kios
Penghasilan yang didapat Zaroti pun terbilang lumayan. Setiap kali pementasan dari undangan masyarakat, Ia biasanya dibayar Rp 1,5 juta.
Sementara jika orderan datang dari perusahaan atau acara pemerintahan, honor yang diterima bisa dua kali lipatnya.
Penghasilan tersebut memang tak seluruhnya masuk kantong pribadi. Zaroti harus membaginya dengan anggota tim yang jumlahnya mencapai 10 orang setiap kali pementasan.
Namun, penghasilan Zaroti tidak hanya dari pementasan saja. Ia juga menjual berbagai varian alat musik dambus pada kolektor atau wisatawan yang berkunjung ke Pangkalpinang.
Setiap satu set lengkap alat dambus dijual Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Pembeli pun berasal dari berbagai negara. Seperti dari Australia, Jepang, Brunei, Malaysia dan Singapura.
Hingga akhirnya pandemi datang menerpa. Dunia seni yang digeluti Zaroti pun mulai sumbang.
Tidak hanya pertunjukan seni yang terkena imbas. Penjualan alat musik pun tersendat karena nyaris tak ada kegiatan pameran maupun kunjungan wisatawan.
Alat musik dambus yang dibuat Zaroti mulai dari gitarnya hingga rebana.
Ciri khasnya berupa penggunaan kulit ikan buntal. Sementara untuk batangan mengombinasikan batok kelapa dan kayu. Biasanya Zaroti menggunakan kayu nangka atau kayu jelutung.