Yadi memutuskan beralih menanam porang setelah melihat nilai ekonomi dan pangsa pasar yang potensial.
Selain itu, budidaya tanaman porang terbilang mudah dengan risiko gagal panen yang kecil.
Kendati demikian, menurut Yadi, perlu diperhatikan adalah pemupukan dan penyemprotan selama pemeliharaan.
“Risiko gagal, kecil. Kalaupun ada umbi yang sebagian busuk atau rusak, masih bisa dijual,” ujar Yadi.
Menurut Yudi, yang terpenting adalah pemilihan bibit yang bagus dan berkualitas, karena akan berpengaruh terhadap hasil panen.
Seorang pengusaha porang, Yandi Setiandi (38) menuturkan, tren budidaya tanaman porang di Cianjur berkembang pesat sejak setahun terakhir.
Selama ini, ia menampung dan membeli porang hasil panen petani.
“Saat ini saya beli Rp 7.000 per kilogram dari petani. Di bulan 8-9 nanti harganya bisa Rp 10.000 per kilogram umbi basah,” kata Yandi saat ditemui Kompas.com di kediamannya di Kampung Kandang Sapi, Rabu (30/6/2021).
Menurut Yandi, saat ini makin banyak petani di Cianjur beralih menanam porang.
Dari data di Perhimpunan Petani Porang Nusantara (P3N) Cianjur, menurut Yandi, jumlahnya mencapai 200 orang dengan luasan lahan 100 hektar yang tersebar di semua wilayah Cianjur.
“Porang Cianjur sendiri sangat potensial. Pemain-pemain porang banyak yang kejar ke sini karena kualitas bibitnya sangat bagus,” kata Yandi.
“Kalau di daerah lain, bibit katak bobotnya paling 2 ons, tapi di sini bisa mencapai 4 ons lebih,” kata Yandi.
Yandi mengatakan, porang yang ia beli dari petani kemudian diolah dengan mesin khusus hingga membentuk cip atau keping ukuran 0,5 sentimeter.
Selanjutnya, cip dipasok ke sejumlah pabrik yang ada di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Porang yang sudah berbentuk cip itu oleh pabrik akan diolah menjadi tepung hingga ekstrak sebagai bahan baku makanan dan juga kosmetik,” kata Yandi.
Menurut dia, tren budidaya porang tidak akan musiman.
Namun, menjadi bisnis yang berkelanjutan, mengingat kebutuhan akan tepung porang terus meningkat setiap tahunnya.
“Kebutuhan ekspornya saja baru tersuplai 10 persen. Belum kebutuhan di dalam negeri. Jadi, masih sangat tinggi peluang pasarnya,” ungkap Yandi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.