KOMPAS.com - Di pulau kecil dan terluar utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, rencana pertambangan emas berpotensi mengancam burung endemik yang sempat dianggap "punah" seabad lalu dan "menenggelamkan" pulau tersebut.
Seriwang sangihe, atau yang disebut masyarakat lokal sebagai manu' niu, adalah burung yang hanya ada di Pulau Sangihe - pulau kecil terluar di utara wilayah Indonesia. Burung endemik ini sempat dianggap "punah" selama seratus tahun, sampai sekitar 20 tahun lalu, ketika mereka terlihat kembali.
Meski begitu, burung berukuran sekitar 18 sentimeter, berwarna kebiruan dan pemakan serangga ini jumlahnya kini kritis dan semakin terancam akibat rencana eksploitasi emas yang berpotensi "menghancurkan" hutan tempat mereka tinggal.
Baca juga: Mengenal Badak Putih Utara, Satwa yang Disebut Punah, Sisa 2 Ekor di Dunia
Jika itu terjadi, tak hanya manu' niu yang terancam punah. Ada sembilan jenis burung endemik lainnya - empat berstatus kritis dan lima lainnya rentan - hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang juga turut terancam.
Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin usaha produksi pertambangan emas di gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektare, dari total 42.000 hektare izin wilayah yang meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe.
Mereka kini tengah melakukan pendekatan ke masyarakat untuk pembebasan lahan.
Bagaimana rencana pertambangan emas ini berdampak pada kondisi masyarakat dan lingkungan hidup di Pulau Sangihe?
Wartawan BBC Indonesia Raja Eben Lumbanrau bersama jurnalis video Anindita Pradana menyambangi pulau tersebut di akhir Mei lalu.
Baca juga: 19 Juta Tahun Lalu Hiu Nyaris Punah, Penyebabnya Masih Misteri