Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Tambang Emas di Sangihe dan Benteng Terakhir Burung Niu yang Dianggap Punah Seabad Lalu

Kompas.com - 10/06/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Di pulau kecil dan terluar utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, rencana pertambangan emas berpotensi mengancam burung endemik yang sempat dianggap "punah" seabad lalu dan "menenggelamkan" pulau tersebut.

Seriwang sangihe, atau yang disebut masyarakat lokal sebagai manu' niu, adalah burung yang hanya ada di Pulau Sangihe - pulau kecil terluar di utara wilayah Indonesia. Burung endemik ini sempat dianggap "punah" selama seratus tahun, sampai sekitar 20 tahun lalu, ketika mereka terlihat kembali.

Meski begitu, burung berukuran sekitar 18 sentimeter, berwarna kebiruan dan pemakan serangga ini jumlahnya kini kritis dan semakin terancam akibat rencana eksploitasi emas yang berpotensi "menghancurkan" hutan tempat mereka tinggal.

Baca juga: Mengenal Badak Putih Utara, Satwa yang Disebut Punah, Sisa 2 Ekor di Dunia

Jika itu terjadi, tak hanya manu' niu yang terancam punah. Ada sembilan jenis burung endemik lainnya - empat berstatus kritis dan lima lainnya rentan - hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang juga turut terancam.

Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin usaha produksi pertambangan emas di gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektare, dari total 42.000 hektare izin wilayah yang meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe.

Mereka kini tengah melakukan pendekatan ke masyarakat untuk pembebasan lahan.

Bagaimana rencana pertambangan emas ini berdampak pada kondisi masyarakat dan lingkungan hidup di Pulau Sangihe?

Wartawan BBC Indonesia Raja Eben Lumbanrau bersama jurnalis video Anindita Pradana menyambangi pulau tersebut di akhir Mei lalu.

Baca juga: 19 Juta Tahun Lalu Hiu Nyaris Punah, Penyebabnya Masih Misteri

Gunung Sahendaruman, benteng terakhir burung Niu

Gunung Sahendaruman yang terletak di selatan Pulau Sangihe, masuk dalam wilayah izin tambang emas.dok BBC Indonesia Gunung Sahendaruman yang terletak di selatan Pulau Sangihe, masuk dalam wilayah izin tambang emas.
Gunung Sahendaruman terletah di selatan Pulau Sangihe yang masuk dalam wilayah izin tambang emas.

Pagi itu, Rabu (26/5/2021), di sebuah pondok di Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, saya dibangunkan kicau burung-burung yang saling bersahut, setelah melalui perjalanan dari Jakarta - empat jam penerbangan, sepuluh jam pelayaran, dan dua jam pendakian.

Salah satu kicauan itu terdengar berasal dari spesies burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). Manu' niu, begitu masyarakat lokal menyebutnya, adalah burung endemik dari Pulau Sangihe.

Baca juga: Selamatkan Seni Tato yang Hampir Punah di Mentawai, dari Motif Mata Jaring hingga Tumbuhan Berduri

Survei Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau dikenal Burung Indonesia, tahun 2014 mengatakan hanya terdapat 34 hingga 119 individu spesies burung ini di dunia.

Menurut data dari Burung Indonesia, spesimen pertama seriwang sangihe tercatat pada tahun 1873 lalu yang dikoleksi oleh Adolf B. Meyer.

Seratus tahun kemudian, tepatnya 1978, peneliti burung Murray D. Bruce mengumumkan telah menemukan burung itu di Gunung Awu, bagian utara Pulau Sangihe.

Namun klaim tersebut tidak disertai bukti sehingga memunculkan anggapan terjadinya "kepunahan lokal" akibat erupsi gunung berkali-kali yang mengubah habitatnya.

Baca juga: Kura-kura Raksasa Ini Dikira Telah Punah, Ilmuwan Temukan di Galapagos

Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu adalah warga lokal yang menemukan seriwang sangihe tahun 1998.dok BBC Indonesia Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu adalah warga lokal yang menemukan seriwang sangihe tahun 1998.
Burung ini kemudian ditemukan kembali pada tahun 1998 di Gunung Sahendaruman, bagian selatan Pulau Sangihe.

Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu ('Bu' adalah panggilan untuk orang tua pria di Sangihe), adalah warga lokal yang menemukannya saat mendampingi peneliti asal Inggris.

Itu sebab, burung endemik ini lantas dipanggil 'niu', mengikuti nama penemunya.

"Saat itu saya sedang ambil air ke sungai lalu terdengar suara burung dari ranting, ada lima ekor. Sepertinya ini burung yang dicari, lalu saya kasih tahu para peneliti itu, dan kami melihat lagi burung itu jam tujuh malam," cerita Bu Niu malam itu, saat gerhana bulan total muncul di langit Gunung Sahendaruman.

Baca juga: Dikira Punah, Ikan dari Zaman Dinosaurus Hidup di Pantai Madagaskar

Bu Niu bersama Ganjar Cahyo Aprianto, peneliti dari organisasi konservasi Burung Indonesia, dan beberapa perwakilan dari Perkumpulan Sampiri yang fokus pada pelestarian burung, sedang melakukan riset terhadap burung-burung endemik Sangihe.

Saya mengikuti mereka menyusuri lembah dan pinggir bukit yang curam, melintasi jalan setapak yang sebagian telah tertutup dan memiliki kemiringan hingga 60 derajat.

Seriwang sangihe hidup di lembah-lembah curam hutan primer pada ketinggian sekitar 450-750 meter di atas permukaan laut. Ini yang menyebabkan burung itu cukup sensitif terhadap perubahan habitat.

"Burung-burung ini hanya dapat dijumpai di lembah dan puncak Gunung Sahendaruman dan memiliki peran sangat penting dalam keseimbangan ekosistem hutan, seperti pengontrol hama, agen alam, penyerbuk alami dan petani hutan," kata Ganjar.

Baca juga: Bahasa Asli di Asia Rawan Punah, Butuh Dukungan Pemerintah

Gunung Sahendaruman adalah benteng perlindungan terakhir burung-burung endemik Sangihe ini, kata Ganjar, sehingga segala aktivitas seperti perambahan hutan dan pertambangan berpotensi "memunahkan" kembali burung-burung itu.

Gunung ini juga berperan sebagai resapan air utama bagi masyarakat Pulau Sangihe. Setidaknya terdapat 70 sungai dan anak sungai yang mengalir ke 70 desa dari gunung ini.

"Rencana tambang yang memasukkan Gunung Sahendaruman sebagai wilayah kerja selain akan merusak hutan, burung terganggu, masyarakat di Sangihe juga akan sengsara karena pasokan air terancam," kata Ganjar.

Baca juga: Bintang Laut Bunga Matahari Ini Lahir Kembali Setelah Nyaris Punah

'Tenggelam' dalam kerusakan

Bu Niu bersama Ganjar Cahyo Aprianto, peneliti dari organisasi konservasi Burung Indonesia sedang mengamati seriwang sangihe di Gunung Sahendaruman, Pulau Sangine.dok BBC Indonesia Bu Niu bersama Ganjar Cahyo Aprianto, peneliti dari organisasi konservasi Burung Indonesia sedang mengamati seriwang sangihe di Gunung Sahendaruman, Pulau Sangine.
Gunung Sahendaruman adalah salah satu area yang masuk dalam 42.000 hektare wilayah tambang Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) - menciut dari sebelumnya 123.000 hektare.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pemegang saham mayoritas sebesar 70%, dan tiga perusahaan Indonesia.

TMS yang memegang kontrak karya (KK) generasi VI sejak 17 Maret 1997 lalu telah mengantongi persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 25 September 2020 dan izin operasi produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awal tahun ini.

Baca juga: Cipta Kridatama Raup Perpanjangan Kontrak Tambang Rp 1,65 Triliun

Artinya, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan.

Dari luas itu, terdapat 4.500 hektare yang memiliki mineralisasi utama yaitu di Kampung Bawone, Binebase, Sade, dan Kupa.

Contoh, berdasarkan hasil eksplorasi perusahaan di Binebas dan Bowone, menurut sumber daya terunjuk, terdapat potensi 114.700 ons emas dan 1,9 juta ons perak. Ditambah, 105.000 ons emas dan 1,05 juta ons perak berdasarkan sumber daya tereka.

Baca juga: Izin Tambang Emas di Sangihe Disebut 42.000 Hektar, Bupati: Hanya 60 Hektar

Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, izin wilayah tambang tersebut berpotensi "menenggelamkan" pulau tersebut.

"Di pulau kecil seperti Sangihe, semuanya terbatas, air tawar terbatas, ekologi terbatas. Kalau setengah pulau jadi wilayah tambang, tenggelam itu pulau dalam kerusakan," kata Merah.

Merah mengatakan, terdapat 55 pulau dari sekitar 13 ribu pulau kecil di Indonesia yang dieksploitasi oleh pertambangan.

Baca juga: Waspada Dampak Siklon Tropis Choi-Wan di Kepulauan Talaud, Sangihe, dan Sitaro

'Kami tidak dilibatkan'

Sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowon, Pulau Sangihe, menyatakan penolakannya atas TMS.dok BBC Indonesia Sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowon, Pulau Sangihe, menyatakan penolakannya atas TMS.
Setelah semua syarat dikantongi, kini TMS tengah melakukan negosiasi pembebasan lahan dengan warga. Namun upaya itu tidak mudah.

Save Sangihe Island, gerakan penolakan tambang yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan, terus menyuarakan protes.

Seperti hari itu, Selasa (25/6/2021), sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowone, yang terletak sekitar 20 kilometer dari Kampung Ulung Peliang - salah satu pintu masuk ke Gunung Sahendaruman.

Baca juga: 6 Air Terjun Eksotis di Kepulauan Sangihe, Pesonanya Menyejukkan Mata

Mereka menolak masuknya tambang dan berikrar tidak akan menjual tanah yang ditawar Rp 5.000 per meter oleh perusahaan.
Sekitar 30 warga berkumpul di Kantor Kapitalaung Kampung Bowon, Pulau Sangihe, menyatakan penolakannya atas TMS.

"Pusat perlawanan dan masa depan masyarakat Sangihe ada di Bowone. Bagaimana, Bowone siap tolak TMS?" seru Alfred Pontolondo dari Save Sangihe Island kepada warga.

"Siap," jawab para warga serentak.

Baca juga: 14 Wisata Bawah Laut di Kepulauan Sangihe Ini Bikin Pangling Wisatawan

Ibu rumah tangga yang tinggal di Kampung Bowone Elbi Pieter menolak kehadiran tambang emas.dok BBC Indonesia Ibu rumah tangga yang tinggal di Kampung Bowone Elbi Pieter menolak kehadiran tambang emas.
Di antara warga yang protes itu, ada seorang ibu rumah tangga, Elbi Pieter.

Dia membayangkan jika perusahaan tambang beroperasi di tanah kelahirannya maka air laut akan tercemar, air minum menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan lenyap, serta mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan hilang.

"Kami tidak percaya janji-janji kesejahteraan, kami hidup bukan dari hasil perusahaan, tapi karena keringat dan kerja keras masyarakat di tempat ini," katanya.

Elbi mengaku kaget ketika mendengar perusahaan telah memegang surat keputusan kelayakan lingkungan hidup kegiatan penambangan dan izin usaha pertambangan saat sosialisasi pembebasan lahan ke masyarakat, pada 24 Maret lalu.

Baca juga: Lebih dari Separuh Luas Pulau Sangihe Jadi Tambang Emas, Berlaku 35 Tahun, Warga Menolak

"Saya berharap kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar turun tangan sehingga izin yang dipegang TMS dicabut dan masyarakat Sangihe terbebas dari ketakutan dan kecemasan yang sangat. Kami ingin hidup tenang seperti dulu," ujar Elbi yang memiliki lima hektare lahan.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga mengatakan tidak dilibatkan dalam proses pengurusan izin lingkungan dan eksploitasi yang diterbitkan untuk TMS.

"Karena proses pertambangan kewenangannya sudah ditarik dari kabupaten ke pusat dan provinsi," kata Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe Melanchton Herry Wolff.

Baca juga: Dampak Siklon Surigae, Tower BTS Roboh hingga Pohon Tumbang di Sangihe

Herry mengaku baru mengetahui izin telah diberikan saat TMS datang dan melapor ke pimpinan daerah.

"Namun demikian, integrasi antara pusat dan daerah harus jalan sehingga keputusan pusat itu, kami selaku pemda otomatis akan menerima dan melakukan sinergi," katanya.

Herry menambahkan, pemda akan mengawal proses pertambangan dengan memprioritaskan lingkungan dan masyarakat.

"Wilayah selatan Sangihe memang direkomendasikan untuk pertambangan tapi harus dilakukan secara terbatas dan selektif karena perlu disadari pulau kita sangat kecil. Sehingga jika tidak dikawal, otomatis akan sangat mempengaruhi keberlanjutan kehidupan di Kabupaten Sangihe," kata Herry.

Baca juga: Kepulauan Sangihe Diklaim Tak Ada Penambahan Kasus Covid-19 Sejak 3 April 2021

Pertambangan ilegal di tengah ketiadaan pilihan

Seorang warga menarik dua karung tanah dari lubang sedalam 12 meter di pertambangan emas tanpa izin di Bowone.dok BBC Indonesia Seorang warga menarik dua karung tanah dari lubang sedalam 12 meter di pertambangan emas tanpa izin di Bowone.
Selain warga desa, rencana tambang juga mendapatkan penolakan dari warga yang menggantungkan hidupnya pada pertambangan emas tanpa izin (PETI).

Saya mendatangi area tambang ilegal yang berjarak 200 meter menuju bukit dari jalan raya.

Deru suara genset menyambut saya, juga sekitar sepuluh pria yang sedang beristirahat. Sebagian tubuh mereka diselimuti tanah.

Di satu sisi, tiga orang lain berada di dalam lubang sedalam 12 meter dan selebar satu meter. Dari atas terlihat dua karung tanah diangkat menggunakan kawat baja dari dalam lubang.

Baca juga: Gempa Melanda Malang dan Sangihe Sulut dalam Satu Hari, Ini Faktanya

Di sampingnya, dengan menggunakan palu, seseorang tengah menghaluskan tanah dan bebatuan.

Sementara itu, enam orang secara bergantian menabur kapur di atas kolam berlapis terpal yang berisi tanah untuk proses penjernihan tanah. Bau menyengat sontak menyerang.

Sedangkan di tenda sebelah, tanah disiram dengan karbon dan sianida untuk mengikat logam yang berisi emas, tembaga, perak dan logam lainnya.

Itu adalah pertambangan rakyat yang disebut masyarakat menjadi mata pencaharian utama secara turun-temurun warga sejumlah kampung di Sangihe.

Baca juga: Mengenal Kepulauan Sangihe Tanah Kelahiran Aprilia Manganang, Ada di Antara Pulau Sulawesi dan Filipina

Seorang warga memecahkan bebatuan di pertambangan emas tanpa izin di Bowone, Kepulauan Sangihe.dok BBC Indonesia Seorang warga memecahkan bebatuan di pertambangan emas tanpa izin di Bowone, Kepulauan Sangihe.
Dalam sebulan, dari setiap lubang bisa diambil 800 karung tanah berukuran 25 kilogram dengan rata-rata penambang mendapatkan penghasilan Rp 2-4 juta.

Christoper Luwunaung, warga Kampung Lapango I, Kecamatan Manganitu Selatan, telah bekerja hampir dua tahun di sana. Hasil yang didapatnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Christoper menyadari apa yang dilakukannya ilegal dan berbahaya, namun ia mengaku tidak ada pilihan yang seimbang.

"Kami meminta diberdayakan, diberikan pengetahuan cara menambang yang aman, diawasi pemerintah, bukan dengan dikasih ke swasta. Lalu kami kerja apa?" kata Christoper, yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penambang.

Baca juga: Banjir Bandang dan Longsor Terjang Sangihe, 1 Warga Meninggal Dunia

Macion Samodara, pengurus salah satu tambang ilegal ini berkata, pertambangan rakyat tidak merusak bentang alam. Buktinya, menurut dia, perkebunan warga masih berdiri tegak dan menghasilkan buah.

"Berikan izin ke rakyat, daripada dikasih ke luar, kita tidak dapat apa-apa, terusir dan menderita," kata Macion.

Menurut Maicon, sepanjang sepengetahuannya, tidak ada kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa akibat PETI.

Baca juga: Tambang Emas Liar di Sumbar Longsor, 8 Penambang Tewas

Sekda Pemkab Kepulauan Sangihe Melanchton Herry Wolff menjelaskan, pertambangan rakyat muncul tahun 1980-an akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan.

"Akhirnya warga tahu dan melakukan penambangan tanpa izin," kata Herry.

Pemkab Sangihe, kata Herry, mengklaim telah menghentikan kegiatan pertambangan liar sambil menunggu proses perizinan. Walaupun ketika saya ke sana, kegiatan pertambangan masih berlangsung.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Riau Digerebek, Puluhan Pekerja Tak Berkutik Diamankan

Mengapa tambang ditolak?

Pemandangan Kecamatan Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe.dok BBC Indonesia Pemandangan Kecamatan Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama, mengatakan terdapat beberapa alasan rencana eksploitasi emas oleh TMS di Sangihe harus ditolak.

Pertama, wilayah izin produksi yang diberikan sebesar 42 ribu hektare atau setengah dari luas Pulau Sangihe yang dihuni lebih dari 131 ribu jiwa.

Menurut Samsared, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP3K) menegaskan pulau-pulau dengan luas daratan kurang dari 2.000 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau kecil yang dilarang ditambang.

Baca juga: Bupati Lebak soal Hutan Sakral Baduy Dirusak Tambang Emas: Ini Ketidakberhasilan Saya

"Pulau Sangihe hanya berukuran 736 kilometer persegi sehingga dalam UU itu tidak layak ditambang," kata Samsared.

Kedua, Pulau Sangihe merupakan kawasan rawan gempa bumi karena berada di atas dua lempeng besar, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik, dan dua lempeng kecil, yakni lempeng Sangihe dan lempeng Laut Maluku.

Ditambah lagi, adanya tiga gunung api aktif yang menyebabkan daerah ini rawan bencana.

Baca juga: Hutan Sakral Baduy Dirusak, Dijadikan Tambang Emas Ilegal, Ini Fakta-faktanya

Penambang rakyat menabur kapur di atas kolam berlapis terpal yang berisi tanah untuk proses penjernihan tanah yang akan diberi air.dok BBC Indonesia Penambang rakyat menabur kapur di atas kolam berlapis terpal yang berisi tanah untuk proses penjernihan tanah yang akan diberi air.
"Tempat pembuangan limbah berpotensi bocor dan mencemari lingkungan karena dibangun di atas tanah rawan gempa dan erupsi gunung api," kata Samsared.

Ketiga, aktivitas pertambangan akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat.

Keempat, proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL) untuk mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan tidak melibatkan masyarakat Sangihe, khususnya di wilayah lingkar tambang.

Baca juga: Warga Baduy Menangis Hutan Sakralnya Dirusak, Polda Banten Bergerak, Tutup Tambang Emas Ilegal

"Masyarakat baru mendengar izin lingkungan telah keluar saat TMS melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk pembebasan lahan. Pertanyannya, kapan dan melibatkan siapa AMDAL itu saat dibuat? Bagaimana hasilnya dan mengapa tertutup?" katanya.

Samsared mengatakan, kini masyarakat lingkar tambang telah menyatukan suara untuk tidak menjual lahannya dan menolak kehadiran TMS.

"Di Kampung Bowone, 90% lebih sudah menandatangani pernyataan penolakan. Kami mendorong Bapak Presiden untuk mencabut izin lingkungan dari provinsi dan IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM," katanya.

Baca juga: Hutan Sakral Baduy yang Dirusak Capai 2 Hektar, Ditemukan Sejumlah Lubang Tambang Emas Liar

Perusahaan TMS: 'Terjadi politisasi isu'

Gambar udara lokasi pertambangan tanpa izin di Kampung Bowone, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.dok BBC Indonesia Gambar udara lokasi pertambangan tanpa izin di Kampung Bowone, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Manager Tambang Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) Bob Priyo Husodo memiliki pandangan berbeda terkait penolakan warga dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkan jika perusahaan beroperasi.

"Situasi di desa kami [lingkar tambang] aman sebenarnya, itu ada yang mempolitisir. Tapi sudah lah, prinsipnya kami akan fokus pada pembebasan lahan, kami mendekati satu per satu [warga] untuk pembebasan lahan. Semuanya positif, dukungan masyarakat mengalir," kata Bob saat dihubungi BBC Indonesia.

Bob juga membantah jika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengurusan izin lingkungan.

Baca juga: Rebutan Tambang Emas Menyebabkan 1 Orang Tewas

"Yang protes itu masyarakat pendatang, jadi masyarakat desa kami undang, ada saksinya dari warga hingga aparatur desa. Kita clear, mereka mendukung," katanya.

Bob mengakui ada warga lingkar tambang di Bowone dan Patimbas yang masih ragu dan menolak, tapi mayoritas dari mereka mendukung aktivitas tambang.

"Lalu, yang perlu ditekankan, luasnya bukan 42 ribu, tapi hanya 65,48 hektare [yang rencananya digunakan untuk pertambangan]. Jadi tidak akan mengganggu dan berdampak seperti yang disebut-sebut. Kami menilai ada politisasi di sini," ujar Bob.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal Jadi Sumber Dana KKB, Kapolda Papua: Wilayahnya Jauh dari Pengawasan Aparat

Perihal luas lahan konsesi 42.000 hektare dalam kontrak karya itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin, menjelaskan hal senada.

Menurut Ridwan, wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare adalah luas eksplorasi potensi emas dan merupakan wilayah izin usaha yang akan mengecil seiring dilakukannya studi kelayakan dan kandungan mineral di dalamnya.

"Misalnya dari luas wilayah 100 hektare kemudian diteliti dan tinggal misalnya 25 hektare, di situ kerjanya, jadi akan ada pertimbangan-pertimbangan teknis," kata Ridwan.

Sebaliknya, wilayah pertambangan juga bisa meluas dari 65,48 hektare jika ditemukan potensi kandungan mineral di dalam wilayah izin 42.000 hektare tersebut selama 33 tahun mendatang.

Baca juga: Di Balik Teror KKB, Tambang Emas Ilegal Dituding Jadi Sumber Dana, Ini Penjelasannya

Kecurigaan kepentingan tambang ilegal

Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama.dok BBC Indonesia Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama.
Ridwan juga menyoroti adanya dugaan oknum dari pertambangan emas tanpa izin yang terganggu saat pemerintah berupaya memformalkan kegiatan pertambangan.

"Sudah ada 200 lubang tambang di Sangihe, apakah tidak patut kita menduga ketika pemerintah mau memformalkan kegiatan pertambangan, ada pihak lain yang terganggu kepentingannya.

"Lebih baik diusahakan menggunakan regulasi dan praktik pertambangan yang benar daripada kita membiarkan orang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin," katanya.

Ridwan juga berkata, polemik proses AMDAL dan perizinan lainnya, seharusnya telah selesai seiring dengan keluarnya persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara.

Baca juga: Soal Penutupan Tambang Emas di Pantai Maluku Tengah, Bupati: Itu Kewenangan Pemerintah Pusat

"Kan kita bisa membayangkan kalau sudah dikaji AMDAL-nya, sudah dinyatakan selesai kemudian kita bilang tidak bisa, terus logikanya di mana?

"Kalau memang masyarakat setempat tidak setuju, contoh ya ketika konsultasi publik AMDAL-nya, bilang-bilang dong, kami tidak setuju. Jangan sampai persetujuan sudah keluar, mereka katakan tidak mau menghormati kesepakatan itu," kata Ridwan.

Pemerintah pusat, kata Ridwan, berjanji akan melakukan pengawasan ketat agar pertambangan emas tak mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran sumber air dan wilayah pesisir.

"Percaya lah kami bukan orang perusak. Anda, mereka, dan saya itu hidup di Bumi yang sama, jadi cita-cita kita ingin agar Bumi ini sama-sama terjaga," janji dia.

Baca juga: Belum Bayar Jaminan Kerusakan Lingkungan Rp 14 Milliar, Tambang Emas di Trenggalek Dilarang Beroperasi

Menatap masa depan

Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu adalah warga lokal yang menemukan seriwang sangihe tahun 1998.dok BBC Indonesia Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu adalah warga lokal yang menemukan seriwang sangihe tahun 1998.
Dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, saya melemparkan pandangan pada keindahan pemandangan alam Gunung Sahendaruman mulai barisan pohon-pohon besar, kicauan burung, hingga suara deru limpahan air sungai.

Saya teringat ucapan Bu Niu yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Gunung Sahendaruman, dan merasa khawatir karenanya.

"Kalau tambang masuk, burung mati dan punah, hutan rusak lalu terjadi longsor, masyarakat kehilangan kehidupan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kami nanti," kata Bu Niu sambil mengisap linting tembakau.

Baca juga: Kisah Sedih di Balik Kepunahan Burung Dodo

Ia memandang Gunung Sahendaruman yang berdiri tegak, barangkali membayangkan keindahannya yang mungkin saja hilang.

Bu Niu yang telah menyerahkan nyaris 23 tahun hidupnya untuk menjaga manu' niu dan burung-burung endemik lainnya dari serangan warga lokal yang membuka lahan dan perburuan liar, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa... terlebih bila ancaman itu datang dari negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penumpang Kapal Terjebak 5 Jam di Merak, BPTD Akan Tegur Pengelola Pelabuhan

Penumpang Kapal Terjebak 5 Jam di Merak, BPTD Akan Tegur Pengelola Pelabuhan

Regional
Raih Gelar S3 dengan IPK sempurna, Mbak Ita Bakal Ikut Wisuda Ke-174 Undip Semarang

Raih Gelar S3 dengan IPK sempurna, Mbak Ita Bakal Ikut Wisuda Ke-174 Undip Semarang

Regional
Pelaku Penusukan Mantan Istri di Semarang Dibekuk, Kaki Kanannya Ditembak

Pelaku Penusukan Mantan Istri di Semarang Dibekuk, Kaki Kanannya Ditembak

Regional
Debt Collector dan Korban Pengadangan di Pekanbaru Berdamai

Debt Collector dan Korban Pengadangan di Pekanbaru Berdamai

Regional
Mantan Pj Bupati Sorong Divonis 1 Tahun 10 Bulan dalam Kasus Korupsi

Mantan Pj Bupati Sorong Divonis 1 Tahun 10 Bulan dalam Kasus Korupsi

Regional
Alasan Golkar Lirik Irjen Ahmad Luthfi Maju di Pilgub Jateng 2024

Alasan Golkar Lirik Irjen Ahmad Luthfi Maju di Pilgub Jateng 2024

Regional
Tarik Minat Siswa Belajar Bahasa Jawa, Guru SMP di Cilacap Gunakan Permainan Ular Tangga

Tarik Minat Siswa Belajar Bahasa Jawa, Guru SMP di Cilacap Gunakan Permainan Ular Tangga

Regional
Pj Gubernur Al Muktabar Tegaskan Bank Banten Punya Performa Baik dan Sehat

Pj Gubernur Al Muktabar Tegaskan Bank Banten Punya Performa Baik dan Sehat

Regional
Demam Berdarah di Demak Mengkhawatirkan, Pasien di RSUD Sunan Kalijaga Terus Meningkat

Demam Berdarah di Demak Mengkhawatirkan, Pasien di RSUD Sunan Kalijaga Terus Meningkat

Regional
Hadiri Rapat Paripurna DPRD, Pj Gubernur Fatoni Ajukan 6 Ranperda Provinsi Sumsel

Hadiri Rapat Paripurna DPRD, Pj Gubernur Fatoni Ajukan 6 Ranperda Provinsi Sumsel

Regional
Anak Mantan Bupati Sragen Daftar Pilkada 2024: Maju Lewat Demokrat, Lulusan Luar Negeri

Anak Mantan Bupati Sragen Daftar Pilkada 2024: Maju Lewat Demokrat, Lulusan Luar Negeri

Regional
Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Manado Hari Ini Selasa 23 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Ringan

Regional
Aparat Desa di Nagekeo NTT Tenggelam Saat Memanah Ikan di Laut, hingga Kini Belum Ditemukan

Aparat Desa di Nagekeo NTT Tenggelam Saat Memanah Ikan di Laut, hingga Kini Belum Ditemukan

Regional
Gamelan Berusia Ratusan Tahun di NTB Dicuri, Pelaku Masih Diburu

Gamelan Berusia Ratusan Tahun di NTB Dicuri, Pelaku Masih Diburu

Regional
Jaring Bakal Calon Pilkada Solo, Gerindra Sebut Kebanjiran Tokoh

Jaring Bakal Calon Pilkada Solo, Gerindra Sebut Kebanjiran Tokoh

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com