Gunung Sahendaruman terletah di selatan Pulau Sangihe yang masuk dalam wilayah izin tambang emas.
Pagi itu, Rabu (26/5/2021), di sebuah pondok di Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, saya dibangunkan kicau burung-burung yang saling bersahut, setelah melalui perjalanan dari Jakarta - empat jam penerbangan, sepuluh jam pelayaran, dan dua jam pendakian.
Salah satu kicauan itu terdengar berasal dari spesies burung seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi). Manu' niu, begitu masyarakat lokal menyebutnya, adalah burung endemik dari Pulau Sangihe.
Baca juga: Selamatkan Seni Tato yang Hampir Punah di Mentawai, dari Motif Mata Jaring hingga Tumbuhan Berduri
Survei Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau dikenal Burung Indonesia, tahun 2014 mengatakan hanya terdapat 34 hingga 119 individu spesies burung ini di dunia.
Menurut data dari Burung Indonesia, spesimen pertama seriwang sangihe tercatat pada tahun 1873 lalu yang dikoleksi oleh Adolf B. Meyer.
Seratus tahun kemudian, tepatnya 1978, peneliti burung Murray D. Bruce mengumumkan telah menemukan burung itu di Gunung Awu, bagian utara Pulau Sangihe.
Namun klaim tersebut tidak disertai bukti sehingga memunculkan anggapan terjadinya "kepunahan lokal" akibat erupsi gunung berkali-kali yang mengubah habitatnya.
Baca juga: Kura-kura Raksasa Ini Dikira Telah Punah, Ilmuwan Temukan di Galapagos
Anius Dadoali, yang biasa dipanggil Bu Niu ('Bu' adalah panggilan untuk orang tua pria di Sangihe), adalah warga lokal yang menemukannya saat mendampingi peneliti asal Inggris.
Itu sebab, burung endemik ini lantas dipanggil 'niu', mengikuti nama penemunya.
"Saat itu saya sedang ambil air ke sungai lalu terdengar suara burung dari ranting, ada lima ekor. Sepertinya ini burung yang dicari, lalu saya kasih tahu para peneliti itu, dan kami melihat lagi burung itu jam tujuh malam," cerita Bu Niu malam itu, saat gerhana bulan total muncul di langit Gunung Sahendaruman.
Baca juga: Dikira Punah, Ikan dari Zaman Dinosaurus Hidup di Pantai Madagaskar
Bu Niu bersama Ganjar Cahyo Aprianto, peneliti dari organisasi konservasi Burung Indonesia, dan beberapa perwakilan dari Perkumpulan Sampiri yang fokus pada pelestarian burung, sedang melakukan riset terhadap burung-burung endemik Sangihe.
Saya mengikuti mereka menyusuri lembah dan pinggir bukit yang curam, melintasi jalan setapak yang sebagian telah tertutup dan memiliki kemiringan hingga 60 derajat.
Seriwang sangihe hidup di lembah-lembah curam hutan primer pada ketinggian sekitar 450-750 meter di atas permukaan laut. Ini yang menyebabkan burung itu cukup sensitif terhadap perubahan habitat.
"Burung-burung ini hanya dapat dijumpai di lembah dan puncak Gunung Sahendaruman dan memiliki peran sangat penting dalam keseimbangan ekosistem hutan, seperti pengontrol hama, agen alam, penyerbuk alami dan petani hutan," kata Ganjar.
Baca juga: Bahasa Asli di Asia Rawan Punah, Butuh Dukungan Pemerintah
Gunung Sahendaruman adalah benteng perlindungan terakhir burung-burung endemik Sangihe ini, kata Ganjar, sehingga segala aktivitas seperti perambahan hutan dan pertambangan berpotensi "memunahkan" kembali burung-burung itu.
Gunung ini juga berperan sebagai resapan air utama bagi masyarakat Pulau Sangihe. Setidaknya terdapat 70 sungai dan anak sungai yang mengalir ke 70 desa dari gunung ini.
"Rencana tambang yang memasukkan Gunung Sahendaruman sebagai wilayah kerja selain akan merusak hutan, burung terganggu, masyarakat di Sangihe juga akan sengsara karena pasokan air terancam," kata Ganjar.
Baca juga: Bintang Laut Bunga Matahari Ini Lahir Kembali Setelah Nyaris Punah