BANDUNG, KOMPAS.com – Empat orang remaja putri terlihat asik dengan ketupatnya. Mereka memasukkan beras ke dalam ketupat, Rabu (12/5/2021).
Tak jauh dari sana, terlihat seorang anak sedang membersihkan ayam dan pemuda tengah membenarkan kayu bakar di hawu (tungku api).
Pemuda ini kemudian menaruh 200 ketupat yang telah diisi ke dalam panci besar dan membuat opor ayam.
Kegiatan tersebut dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Muttaqien, Kampung Leuwinutug, Desa Batulayang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Baca juga: Anjang-anjangan, Budaya Lebaran Tanah Sunda yang Hampir Punah
Selain di pesantren, sejumlah warga ikut membantu mengolah makanan di rumahnya masing-masing. Seperti mengupas kelapa, menjemur daun, mengolah bumbu, hingga membuat sayur.
Keesokan harinya, makanan tersebut akan disajikan, untuk konsumsi warga setelah pelaksanaan shalat Idul Fitri.
“Namanya ketupat barokah (berkah),” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Muttaqien, Safrudin Abdul Karim kepada Kompas.com.
Pria kelahiran 1978 ini mengatakan, ketupat barokah merupakan budaya lama. Dulu, sejumlah pesantren suka menggelarnya sebagai bagian dari syiar.
“Tujuannya menyatukan masyarakat. Mendekatkan satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Intinya biar guyub,” ucap dia.
Karena dalam keseharian, bisa saja mereka jarang bertegur sapa akibat kesibukan, ada persoalan, ataupun alasan lainnya.
Dengan ketupat ini, mereka akan dipersatukan. Tentunya dalam hal kebaikan.
Agar yang tidak baik menjadi baik, yang baik menjadi lebih baik lagi.
Bahkan dalam Islam diajarkan, ibadah tidak hanya mahdhah (shalat, puasa, dan lainnya) ataupun ghair mahdhah. Tapi ada ibadah yang berhubungan dengan tali silaturahmi.
“Jadi ini berjemaah dalam kebaikan. Makan bersama untuk mempererat tali persaudaraan,” ungkap dia.
Karena tengah pandemi Covid-19, protokol kesehatan pun dimaksimalkan. Misalnya, dari kapasitas lapangan untuk 500 orang, akan dibatasi menjadi 200 orang.