Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budi Daya Ulat Sutra Nunukan, Impian Hasilkan Kain Khas Kalimantan yang Selalu Kandas

Kompas.com - 12/04/2021, 07:30 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Dony Aprian

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.comBudi daya ulat sutra di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, masih menjadi harapan dan impian yang terus kandas.

Dirintis sejak 2016, banyak persoalan yang membuat budi daya ulat sutra di perbatasan RI-Malaysia ini mengalami pasang surut.

"Sebenarnya budi daya ulat sutra di Nunukan ini adalah satu satunya di pulau Kalimantan. Artinya ada kebanggaan ketika ini berkesinambungan dan kita bisa menghasilkan kain khas Nunukan atau Kaltara," ujar Plt Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Nunukan Roy Leonard, Minggu (11/4/2021).

Baca juga: Sadar Manfaat Besar Lidah Buaya, Ibu Ini Bentuk Komunitas Budi Daya di Gunung Kidul

Roy menuturkan, adanya budi daya ulat sutra berawal dari keinginan Sekretaris Daerah pada saat itu Drs.Tommy Harun, yang menginginkan sebuah produk ringan namun berkualitas dan ikonis.

Dilakukan sebuah kajian melibatkan Dinas Kehutanan yang akhirnya dibangun dua rumah budi daya ulat sutra di dataran tinggi Krayan.

"Di sana kita sudah sempat menghasilkan 3 boks kokon ulat sutra. Tapi kemudian muncul kebijakan Undang Undang MD3 pada 2016 yang menarik kewenangan Dinas Kehutanan Kabupaten ke Provinsi. Terputuslah upaya itu,’’kata Roy.

Dalam upaya merintis budi daya ulat sutra, Kabupaten Nunukan sudah menjalin kerja sama dengan Dinas Kehutanan Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.

Baca juga: Kampung Cerita Nunukan, Upaya Pemuda Tidung Pertahankan Jati Diri

Wajo merupakan salah satu wilayah pengembangan sutra, sehingga daerah tersebut menjadi referensi dan tempat study banding Dinas Kehutanan Nunukan saat itu.

Benih ulat sutra bisa diperoleh secara gratis melalui bantuan budi daya untuk program pengembangan Kelompok Tani Hutan (KTH).

"Yang disayangkan, usaha yang baru kita rintis harus membentur undang undang peralihan kewenangan di MD3 itu. Sekarang kita coba kembali kembangkan untuk KTH Floresta di kecamatan Nunukan Barat,’’katanya.

Tertatih mewujudkan mimpi

Pemberlakuan Undang-Undang 23/2014 tentang pemerintah daerah yang berlaku mulai Oktober 2016 diakui menjadi sebuah hantaman berat bagi impian tersebut.

Seluruh rencana yang dibangun buyar. Nihilnya kewenangan dinas kehutanan kabupaten, otomatis membuat instansi ini bubar dengan sendirinya.

"Dinas Kehutanan di Kabupaten tidak ada lagi, tapi ada UPT KPH, jadi kita coba perlahan merajut kembali apa yang kita impikan dari upaya budi daya ulat sutra," tekat Roy.

Kabupaten Nunukan memang memiliki impian menjadi salah satu wilayah penghasil sutra. Benang sutra akan mereka rajut menjadi kain dengan motif batik khas Kaltara yang ikonis.

Hasilnya akan menjadi oleh oleh khas Kaltara yang tentunya akan melambungkan nama provinsi termuda Indonesia yang berada di perbatasan RI–Malaysia ini.

"Saya katakan saat ini kita masih tertatih tatih mewujudkan itu. Kita masih banyak PR, kita butuh SDM handal dan harus memiliki ternak ulat sutra sendiri. Tapi mimpi itu akan coba kita gapai," kata Roy.

Roy mengaku, hasil budi daya ulat sutra belum bisa menjanjikan secara ekonomi.

Pasalnya, yang dikejar sementara ini adalah eksistensi budi daya ulat sutra untuk kain sutra khas Kaltara.

Sementara jika berbicara harga, kepompong atau kokon ulat sutra bisa dijual dengan harga berkisar Rp 25.000 per kg, dan akan menjadi Rp 45.000 saat sudah menjadi benang, lalu menjadi Rp 300.000 sampai Rp1,5 juta ketika menjadi kain, tergantung dari panjang dan lebar kain.

Dukungan KTH Floresta

Semangat Roy untuk impian kain sutra motif khas Kaltara diilhami oleh KTH Floresta Nunukan Barat.

KTH ini sekarang mengelola budi daya ulat sutra. Mereka sudah menanam pohon murbei. Daun murbei merupakan pakan ulat sutra.

Ketua KTH Floresta Laurensius Bati mengatakan, saat ini ada 15 orang yang menekuni budi daya ulat sutra.

Mereka merasa berkewajiban mewujudkan impian Nunukan sebagai andil warga perbatasan untuk kemajuan daerah.

"Kita menerima program pengembangan KTH pada 2018, hanya saja harus kita akui anggota kita belum ada yang bisa fokus. Mereka masih butuh bimbingan dan pendampingan, itu kenapa produksi belum bisa rutin. Tapi kita semua siap untuk mewujudkan mimpi Nunukan memiliki kain sutra sendiri," katanya.

Sejauh ini, budi daya ulat sutra di Nunukan masih bergantung dengan telur ulat yang dikirim dari Wajo. Biasanya dalam sebulan ada 1 boks berisi 25.000 telur ulat sutra.

Begitu menetas, ulat ulat tersebut diberi makan daun murbei selama 21 hari sampai menjadi kepompong/kokon.

Menjaga ulat ulat sutra kecil, ternyata tidak mudah. Hewan cicak atau kadal sering kali masuk ke kandang ulat sutra dan memakannya sampai habis.

Sampai saat ini, budi daya Nunukan baru menghasilkan 1 kain selendang sutra.

Ada beberapa gulung benang sutra yang tersimpan rapi, menunggu jumlah banyak sebelum dipintal menjadi kain dan digambar dengan motif batik khas Kaltara.

"Jadi memang tidak mudah ternyata. Tapi namanya mimpi tidak ada yang begitu saja terjadi. Mudah mudahan sedikit demi sedikit kita bisa menebus kegagalan kita dengan terwujudnya impian kain sutra khas Nunukan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

7.945 Calon Mahasiswa Ikuti UTBK di Untidar Magelang, Berikut 8 Lokasi Tesnya

7.945 Calon Mahasiswa Ikuti UTBK di Untidar Magelang, Berikut 8 Lokasi Tesnya

Regional
Sandiaga Uno Enggan Berandai-andai Masuk Kabinet Prabowo-Gibran

Sandiaga Uno Enggan Berandai-andai Masuk Kabinet Prabowo-Gibran

Regional
Seribuan Jumatik untuk Berantas Sarang dan Jentik Nyamuk di Babel

Seribuan Jumatik untuk Berantas Sarang dan Jentik Nyamuk di Babel

Regional
Calon Independen Pilkada Lhokseumawe Harus Miliki 5.883 Dukungan KTP

Calon Independen Pilkada Lhokseumawe Harus Miliki 5.883 Dukungan KTP

Regional
Alasan Bandara Supadio Pontianak Turun Status ke Penerbangan Domestik

Alasan Bandara Supadio Pontianak Turun Status ke Penerbangan Domestik

Regional
Kronologi Adik Diduga ODGJ Bunuh Kakak di Klaten, Tetangga Dengar Teriakan Tak Berani Mendekat

Kronologi Adik Diduga ODGJ Bunuh Kakak di Klaten, Tetangga Dengar Teriakan Tak Berani Mendekat

Regional
IRT Tewas Tersengat Listrik Jerat Babi Hutan, Polisi Amankan 5 Terduga Pelaku

IRT Tewas Tersengat Listrik Jerat Babi Hutan, Polisi Amankan 5 Terduga Pelaku

Regional
Cerita di Balik Gol Cantik Witan Sulaeman ke Gawang Yordania

Cerita di Balik Gol Cantik Witan Sulaeman ke Gawang Yordania

Regional
Kebakaran Kapal Ikan Cilacap Renggut 1 Nyawa ABK, Ditemukan Mengambang dengan Luka Bakar di Tubuh

Kebakaran Kapal Ikan Cilacap Renggut 1 Nyawa ABK, Ditemukan Mengambang dengan Luka Bakar di Tubuh

Regional
Pilkada Maluku, Anggota DPR RI Hendrik Lewerissa Ambil Formulir di 5 Parpol

Pilkada Maluku, Anggota DPR RI Hendrik Lewerissa Ambil Formulir di 5 Parpol

Regional
Perempuan di Sragen Tewas Tersengat Aliran Listrik Jebakan Tikus

Perempuan di Sragen Tewas Tersengat Aliran Listrik Jebakan Tikus

Regional
Remaja di Padang Pariaman Diperkosa 4 Pemuda Setelah Dicekoki Miras

Remaja di Padang Pariaman Diperkosa 4 Pemuda Setelah Dicekoki Miras

Regional
Pemkab Sikka Vaksinasi 1.087 Ekor Anjing di Wilayah Endemis Rabies

Pemkab Sikka Vaksinasi 1.087 Ekor Anjing di Wilayah Endemis Rabies

Regional
Sempat Dirawat, Remaja di Kalbar Meninggal Setelah Digigit Anjing Rabies

Sempat Dirawat, Remaja di Kalbar Meninggal Setelah Digigit Anjing Rabies

Regional
PDI-P Belum Buka Pendaftaran Pilkada Magelang, Tunggu Petunjuk Pusat

PDI-P Belum Buka Pendaftaran Pilkada Magelang, Tunggu Petunjuk Pusat

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com