Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bung Karno, Mbok Sarinah, dan Mojokerto

Kompas.com - 14/02/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

Tentang Sarinah yang tidak menerima gaji saat mengasuhnya, Soekarno mengatakan, "Membayar upah bagi pekerjaan di rumah tangga pada awalnya tidak dikenal dalam konsep di lingkungan kami. Bila ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan, setiap orang turut membantu."

Baca juga: Ramai soal Penjualan Surat Nikah dan Cerai Bung Karno, Ini Fakta dan Penjelasannya...

Soekarno juga menceritakan jika Sarinah sedang memasak di dapur, maka dia akan duduk di sebelahnya untuk menemani.

Suatu hari Sarinah pernah berpesan kepada Soekarno. "Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau haru mencintai umat manusia," kata Sarinah.

Di masa kecil, Soekarno tidur di ranjang Sarinah yang sempit dan selalu mengikuti kemanapun Sarinah pergi.

Namun di otobigrafinya, Soekarno tidak menceritakan detail tentang Sarinah.

Baca juga: Kampung Kelahiran Bung Karno Akan Disulap Jadi Sentra Wisata Edukasi Nasionalisme

Hanya saja saat Sarinah tak ada lagi, Soekarno mengisi kekosongan hatinya dengan tidur di ranjang milik Sarinah bersama kakaknya, Sukarmini.

Nama Sarinah kembali diceritakan Soekano saat dia pindah ke Surabaya di usia 15 tahun.

Di Surabaya, ia tinggal di Keluarga Cokroaminoto untuk melanjutkan sekolah. Saat awal tinggal di Surabaya, Soekarno mengaku tidak betah dan menangis setiap hari.

Dia kehilangan sosok ibu dan nenek yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Soekarno. Termasuk juga tidak ada sosok Sarinah.

"Sekarang aku tidak punya ibu, tidak ada nenek yang menyayangiku untuk membujukku, tidak ada Sarinah yang setia menjagaku. Aku merasa sebatang kara," cerita Soekarno di bukunya.

Baca juga: Peneleh, Kampung Para Pahlawan dan Bapak Bangsa

Ibu tak mampu membeli beras

Bung Karno bercerita kehidupan keluarganya di Mojokerto sangat melarat. Mereka sering tidak bisa makan nasi satu kali dalam sehari dan kebanyakan makan ubi kayu, jagung yang ditumbuk dengan bahan makanan yang lain.

Sang ibu, Idayu juga tak mampu untuk beli beras seperti yang suka dibeli oleh penduduk lain.

Uangnya hanya cukup untuk membeli padi dan setiap pagi Idayu menumbuknya degan lesung sehingga butir-butir yang mengandung sekam menjadi beras yang dijual orang di pasar.

Hal tersebut terus dilakukan Idayu di bawah terik matahari hingga tangannya memerah dan melepuh.

"Aku menghemat uang satu sen. Dan uang satu sen dapat membelikan sayuran buatmu, nak," kata Idayu kepada Soekarno.

Sejak hari itu selama beberapa tahun, Soekarno kecil membantu ibunya menumbuk padi sebelum berangkat sekolah.

Baca juga: Rumah Kelahiran Bung Karno Diserahkan ke Pemkot Surabaya, Risma Akan Jadikan Museum

Ganti nama dari Kusno menjadi Soekaro

Foto Soekarno menyempil di antara foto keluarga di Rumah Kelahiran Bung Karno, Jalan Peneleh Gang IV, atau biasa disebut Gang Pandean, Nomor 40, Surabaya, Rabu (12/8/2015).KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Foto Soekarno menyempil di antara foto keluarga di Rumah Kelahiran Bung Karno, Jalan Peneleh Gang IV, atau biasa disebut Gang Pandean, Nomor 40, Surabaya, Rabu (12/8/2015).
Masih di Mojokerto. Saat berusia 11 tahun Soekarno yang masih bernama Kusno sakit tifus. Hampir 2,5 bulan ia hanya bisa berbaring di atas tempat tidur.

Selama Kusno sakit, sang ayah Sukemi selalu menemani. Sukemi tidur di lantai semen yang lembab hanya beralaskan tikar tipis yang usang tepat di bawah tenpat tidur Kusno yang terbuat dari bambu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com