Salin Artikel

Bung Karno, Mbok Sarinah, dan Mojokerto

Gedung yang berada di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat tersebut diperuntukkan sebagai etalase barang produksi dalam negeri khususnya yang berasal dari UMKM.

Bung Karno menyebutnya Gedung Sarinah.

Gedung tersebut memiliki tinggi 74 meter yang terdiri dari 15 lantai yang menjadikannya sebagai bangunan pencakar langit pertama di Indonesia.

Sebagai pusat perbelanjaan modern pertama, Gedung Sarinah langsung jadi ikon berbelanja di Jakarta.

Tak banyak yang tahu jika nama Sarinah dipilih oleh Soekarno sebagai rasa hormat sang Presiden kepada pengasuhnya yang bernama Sarinah.

Bahkan Soekarno menulis buku khusus yang berjudul Sarinah, Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia.

Dalam kata pengnatar buku itu Soekarno menulis,

"Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-anak. Pengasuh saya itu bernam Sarinah, Ia "Mbok" saya. Ia membantu ibu saya, dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya banyak mendapatkan pelajaran mencintai "orang kecil". Dia sendiri pun "orang keci". Tetapi budinya selalu besar!

Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!"

Sang ayah Raden Sukemi Sosrodiharjo menjadi guru di Mojokerto. Ia pun mengajak sang istri, Idayu dan dua anaknya termasuk Sukarmini yang berusia dua tahun di atas Kusno.

Bung Karno menceritakan kehidupannya di Mojekerto di Buku Soekarno Penyambung Lidah Rakyat yang disusun oleh Cindy Adams di bab khusus yang berjudul Mojokerto: Kepedihan di Masa Muda.

Di Mojoketo, Kusno bertemu Sarinah seorang gadis yang kemudian menjadi pengasuhnya.

Bagi keluarga Sukemi, Sarinah bukan pelayan dalam pengertian barat. Sarinah dianggap bagian dari keluarga Sukemi.

Sarinah tidak menikah. Selama tinggal bersama keluarga Sukemi, Sarinah juga tidak menerima gaji.

"Dia tidur bersama kami, tinggal bersama kami, memakan apa yang kami makan, tetapi dia tidak mendapat gaji sepeser pun."

"Dialah yang mengajarku mengenal kasih sayang. Sarinah mengajariku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil," cerita Soekarno pada Cindy.

Tentang Sarinah yang tidak menerima gaji saat mengasuhnya, Soekarno mengatakan, "Membayar upah bagi pekerjaan di rumah tangga pada awalnya tidak dikenal dalam konsep di lingkungan kami. Bila ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan, setiap orang turut membantu."

Soekarno juga menceritakan jika Sarinah sedang memasak di dapur, maka dia akan duduk di sebelahnya untuk menemani.

Suatu hari Sarinah pernah berpesan kepada Soekarno. "Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau haru mencintai umat manusia," kata Sarinah.

Di masa kecil, Soekarno tidur di ranjang Sarinah yang sempit dan selalu mengikuti kemanapun Sarinah pergi.

Namun di otobigrafinya, Soekarno tidak menceritakan detail tentang Sarinah.

Hanya saja saat Sarinah tak ada lagi, Soekarno mengisi kekosongan hatinya dengan tidur di ranjang milik Sarinah bersama kakaknya, Sukarmini.

Nama Sarinah kembali diceritakan Soekano saat dia pindah ke Surabaya di usia 15 tahun.

Di Surabaya, ia tinggal di Keluarga Cokroaminoto untuk melanjutkan sekolah. Saat awal tinggal di Surabaya, Soekarno mengaku tidak betah dan menangis setiap hari.

Dia kehilangan sosok ibu dan nenek yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Soekarno. Termasuk juga tidak ada sosok Sarinah.

"Sekarang aku tidak punya ibu, tidak ada nenek yang menyayangiku untuk membujukku, tidak ada Sarinah yang setia menjagaku. Aku merasa sebatang kara," cerita Soekarno di bukunya.

Sang ibu, Idayu juga tak mampu untuk beli beras seperti yang suka dibeli oleh penduduk lain.

Uangnya hanya cukup untuk membeli padi dan setiap pagi Idayu menumbuknya degan lesung sehingga butir-butir yang mengandung sekam menjadi beras yang dijual orang di pasar.

Hal tersebut terus dilakukan Idayu di bawah terik matahari hingga tangannya memerah dan melepuh.

"Aku menghemat uang satu sen. Dan uang satu sen dapat membelikan sayuran buatmu, nak," kata Idayu kepada Soekarno.

Sejak hari itu selama beberapa tahun, Soekarno kecil membantu ibunya menumbuk padi sebelum berangkat sekolah.

Selama Kusno sakit, sang ayah Sukemi selalu menemani. Sukemi tidur di lantai semen yang lembab hanya beralaskan tikar tipis yang usang tepat di bawah tenpat tidur Kusno yang terbuat dari bambu.

Sukemi terus berdoa anaknya mendapatkan kekuatan dan segera sembuh.

Bung Karno bercerita rumah yang mereka sewa di Mojokerto berada di tanah yang rendah dekat sebuah sungai kecil.

Saat musim hujan, sungai akan meluap dan airnya akan menggenangi pekerangan rumah mereka. Sejak Desember hingga April, pekarang rumah mereka selalu basah.

Air tergenang yang bercampur sampah serta lumpur membuat Kusno terkena tifus. Setelah sembuh, mereka pun pindah ke rumah di Jalan Eesiden Pamuji yang lebih kering.

Selain tifus, Kusno juga terkena malaria, disentri dan penyakit lainnya. Sukemi pun berpikir untuk mengganti nama Kusno.

Karena Sukemi pengagum cerita klasik Hindu zaman dulu Mahabharata, maka nama Kusno diganti dengan dengan Karna yang disebut Sukemi sebagai pahlawan terbesar dalam Mahabharata.

"Agar anakku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua," kata Sukemi pada anak lelakinya.

Menurut Bung Karno, nama Karno atau Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf "A" dibaca "O". Awalan "Su" pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik.

Soekarno tak menceritakan detail asal-usul Sarinah termasuk keberadaan Sarinah setelah mengasuhnya.

Hanya saja ia menggunakan nama Sarinah untuk nama sebuah gedung salah satu proyek mercusuar Bung Karno selain pembangunan Monas, GBK, Hotel Indonesia, dan bangunan-bangunan megah lain selama rezim Orde Lama.

Di awal kemerdekaan, jalan itu bernama Jalan Pahlawan. Namun sebelum kemerdekaan tak catatan pasti nama jalan tersebut.

Rumah kontrakan Soekarno itu berada hanya beberapa meter dari jauh Water Toren (menara air). Sebuah menara tandon yang air yang dibuat Belanda.

Bangunan tua ini masih berdiri kokoh di perempatan Jl Gajahmada-Jl Empunala. Masyarakat sekitar biasa menyebutnya water turun.

Pada tahun 2013, rumah kontrakan keluarga Soekarno ditinggali oleh Mak Tiah. Namun saat ini  rumah tersebut sudah menjadi ruko.

Saat di Mojokerto, Bung Karno sempat sekolah di Inlandsche School ke Europeesche Lagere School yang saat ini menjadi SDN Purwotengah, Mojokerto.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/14/06070041/bung-karno-mbok-sarinah-dan-mojokerto

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke