Ia menjelaskan penyebab ditemukannya kasus Covid-19 di antara penyandang disabilitas mental di rumah sakit itu karena ketika menerima pasien ODGJ yang dirujuk ke RS Dadi, hanya berbekal hasil tes cepat (rapid test) yang keakuratannya dipertanyakan.
"Rapidnya negatif kita terima tapi kan kita tahu rapid test jaman dulu kan antibodi-kan sensitivitasnya terbatas, banyak yang rapid-nya negatif ternyata positif SWAB-nya, itu yang membawa," kata Aman.
"Setelah kami tracing langsung kami pisahkan, pilah-pilah yang positif di gedung tertentu, yang negatif sendiri, itu saja," jelas Aman.
Ia melanjutkan, protokol penanganan OTG bagi pasien penyandang disabilitas mental di rumah sakitnya adalah "kita pantau saja, kasih vitamin, makan yang cukup, istirahat yang cukup".
Baca juga: Dua Dokter di Makassar Meninggal Dunia karena Covid-19
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPSA di Kementerian Kesehatan, Siti Khalimah, mengungkapkan di awal pandemi pemerintah sudah menempuh kebijakan mengurangi hunian, baik untuk rawat inap dan rawat jalan, di sejumlah rumah sakit jiwa.
"Di akhir-akhir bulan ini memang terjadi peningkatan kunjungan lagi untuk pasien jiwa. Karena ternyata dengan penurunan tingkat hunian, tidak semua keluarga bisa mengatasi kondisi pasien sendiri di rumah," jelas Siti.
Kondisi tempat perawatan penyandang disabilitas mental di rumah sakit jiwa yang berbentuk bangsal yang dihuni oleh setidaknya lebih dari 10 orang, menurut Siti, "meningkatkan risiko penularan".
"Karena mereka mengalami gangguan kognitif dan gangguan proses pikir, mereka agak kesulitan menerima edukasi," kata Siti.
Siti mencontohkan, ketika ia masih menjabat sebagai kepala Rumah Sakit Jiwa Lawang di Jawa Tengah, ia kesulitan untuk mewajibkan seluruh pasien mengenakan masker.
"Saya minta mereka pakai masker, itu sulitnya setengah mati karena mereka agak sulit diberikan pemahaman," ujarnya.
Kesulitan juga ia alami ketika memberikan edukasi kepada mereka untuk membiasakan diri mencuci tangan.
"Menjaga jarak juga begitu, karena memang mereka dalam satu sal, mungkin tempat tidurnya bisa kita jarang-jarangkan, tapi kan orangnya ini berkumpul terus karena secara fisik mereka tidak sakit, yang sakit proses pikirnya," ungkap Siti.
Baca juga: Kisah Dokter di Makassar yang Seorang Diri Rawat 190 Pasien Covid-19