Ermi menyebutkan, beberapa fakta terkait hal ini menunjukkan bahwa harga tanah yang menjadi tujuan kepindahan sudah naik harga
pasarnya, setelah adanya pematokan jalan tol dan munculnya beberapa hasil penilaian di desa atau kecamatan lain.
"Secara kasat mata, kami berat untuk mendapatkan rumah dengan spek dan kondisi semula di lahan yang baru nanti," sebut Ermi.
Ermi mengatakan, selama ini, tim apraisal juga tidak terbuka kepada pemilik bidang hasil perhitungan dan penaksirannya.
Di mana, pemilik bidang hanya disodorkan sejumlah nominal yang tidak tahu apakah semua yang ada dalam daftar nominatif dinilai atau tidak.
Sehingga, kata Ermi, proses penilaian memiliki kelemahan, di antaranya kurang memperhatikan dan mempertimbangkan perspektif lain. Terutama, dari sudut pandang dan kepentingan warga.
"Salah satu pertanyaan yang muncul di pikiran kami adalah dasar dan argumen dari hasil penilaian tim penilai yang menurut kami, kurang memenuhi aspek proporsionalitas," ujar Ermi.
Aspek proporsional tersebut yaitu nilai sawah produktif dengan sawah garung dinilai sama harganya per meter persegi.
Demikian juga, dengan lahan kebun dan sawah yang lebih tinggi kebun dibanding sawah kelas satu.
"Ini artinya tim apraisal kurang memperhatikan aspek produktivitas dan ekonomis dari lahan yang terkena jalan tol," tutur Ermi.
Sebab, kata Ermi, setelah dihitung, untuk variabel penilaian bangunan, rata-rata besaran nilai bangunan per meter perseginya sebesar Rp 1,6 juta hingga Rp 1,8 juta.
"Sepemahaman kami, ada regulasi nilai per meter perseginya di Sumedang ini. Yaitu Rp 2 juta hingga Rp 3 juta untuk rumah satu lantai dan Rp 4 juta hingga Rp 5 juta untuk rumah dua lantai," sebut Ermi.
Akan tetapi, kata Ermi, pada kenyataannya, hitung-hitungan riil di lapangan, pembangunan rumah di wilayah Conggeang sudah mencapai Rp 2,5 juta per meter persegi.
"Tentu hal ini akan memberatkan kami dalam membangun rumah kembali. Untuk variabel nonfisik, dimensi solatium juga kurang benar-benar bisa dihitung dengan baik," ujar Ermi.