KOMPAS.com - Tanaman jagung sudah siap dipanen dan biji-biji kopi berjatuhan di tanah, namun tak ada tangan-tangan yang memungut.
Itulah kondisi di Dusun Lenowu di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tenggara, yang ditinggal penduduknya setelah insiden pembantaian satu keluarga akhir November lalu.
Hanya ada petugas keamanan yang berlalu-lalang dengan senjata laras panjang untuk mengamankan daerah itu.
Baca juga: Kemensos Salurkan Bantuan Senilai Rp 458 Juta untuk Ahli Waris Korban Teror di Sigi
Rumah-rumah yang sebelumnya dibakar kini sudah dibangun dan siap dihuni. Namun, warga belum berani menempati wilayah itu.
Suasana itu kontras dengan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Sebelum Natal, biasanya warga mengadakan sejumlah kegiatan peribadahan.
Kini, mereka masih mengungsikan diri ke Pusat Desa Lembantongoa, yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari lokasi kejadian.
Yasa dan tiga orang anggota keluarga lainnya dibantai hingga tewas oleh sekelompok orang, yang oleh pemerintah disebut dilakukan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
Serangan di Dusun Lenowu itu juga diikuti pembakaran sejumlah rumah warga. Salah satu yang dibakar adalah rumah yang biasa dipakai umat Nasrani setempat untuk beribadah.
Ketika ditemui wartawan untuk BBC News Indonesia, di Pusat Desa Lembantongoa, Mece hanya mengatakan dia berharap pembunuh ayahnya bisa ditangkap.
Baca juga: Jejak Ali Kalora, Pemimpin MIT yang Diduga Terlibat Teror di Sigi, Kerap Menyamar Jadi Warga Lokal
"Harapan kami supaya cepat ditangkap, supaya kami senang, tidak merasa takut lagi. Kami sudah berterima kasih pada pemerintah, warga-warga yang sudah membantu kami, kami mohon terima kasih sebanyak-banyaknya," kata Mece.
Keluarga Mece merupakan jemaat Gereja Bala Keselamatan di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Kejadian yang menimpa keluargannya tak hanya meninggalkan pengalaman traumatis bagi Mece, tapi juga umat Nasrani lainnya di desa itu.
Baca juga: Pasca-teror di Sigi, Warga Desa Belum Berani Kembali ke Rumah
Alvianus, salah seorang Nasrani di wilayah itu, yang cukup akrab dengan keluarga Yasa, juga masih mengalami trauma.
"Sesudah kejadian itu, kami masih banyak rasa takut. Warga selalu kumpul-kumpul di tempat ramai agar tidak takut," katanya.