Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Natal Pasca-teror di Sigi, Pesan Kasih Sang Pendeta dan Dukungan Warga Muslim Atasi Trauma

Kompas.com - 25/12/2020, 12:02 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Tanaman jagung sudah siap dipanen dan biji-biji kopi berjatuhan di tanah, namun tak ada tangan-tangan yang memungut.

Itulah kondisi di Dusun Lenowu di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tenggara, yang ditinggal penduduknya setelah insiden pembantaian satu keluarga akhir November lalu.

Hanya ada petugas keamanan yang berlalu-lalang dengan senjata laras panjang untuk mengamankan daerah itu.

Baca juga: Kemensos Salurkan Bantuan Senilai Rp 458 Juta untuk Ahli Waris Korban Teror di Sigi

Rumah-rumah yang sebelumnya dibakar kini sudah dibangun dan siap dihuni. Namun, warga belum berani menempati wilayah itu.

Suasana itu kontras dengan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Sebelum Natal, biasanya warga mengadakan sejumlah kegiatan peribadahan.

Kini, mereka masih mengungsikan diri ke Pusat Desa Lembantongoa, yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari lokasi kejadian.

Baca juga: Berkunjung ke Desa Lembang Tonga yang Terusik Teror Ali Kolora di Sigi, Terpencil dan Tak Ada Konflik Agama

'Masih takut'

Rumah warga dan bangunan yang dibakar sudah selesai diperbaiki, tapi warga belum berani kembali ke desa mereka.BBC Indonesia/Eddy Junaedi Rumah warga dan bangunan yang dibakar sudah selesai diperbaiki, tapi warga belum berani kembali ke desa mereka.
Mece (33) belum bisa berbicara banyak tentang peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, Yasa, dengan sadis.

Yasa dan tiga orang anggota keluarga lainnya dibantai hingga tewas oleh sekelompok orang, yang oleh pemerintah disebut dilakukan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.

Serangan di Dusun Lenowu itu juga diikuti pembakaran sejumlah rumah warga. Salah satu yang dibakar adalah rumah yang biasa dipakai umat Nasrani setempat untuk beribadah.

Ketika ditemui wartawan untuk BBC News Indonesia, di Pusat Desa Lembantongoa, Mece hanya mengatakan dia berharap pembunuh ayahnya bisa ditangkap.

Baca juga: Jejak Ali Kalora, Pemimpin MIT yang Diduga Terlibat Teror di Sigi, Kerap Menyamar Jadi Warga Lokal

"Harapan kami supaya cepat ditangkap, supaya kami senang, tidak merasa takut lagi. Kami sudah berterima kasih pada pemerintah, warga-warga yang sudah membantu kami, kami mohon terima kasih sebanyak-banyaknya," kata Mece.

Keluarga Mece merupakan jemaat Gereja Bala Keselamatan di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Kejadian yang menimpa keluargannya tak hanya meninggalkan pengalaman traumatis bagi Mece, tapi juga umat Nasrani lainnya di desa itu.

Baca juga: Pasca-teror di Sigi, Warga Desa Belum Berani Kembali ke Rumah

Alvianus, salah seorang Nasrani di wilayah itu, yang cukup akrab dengan keluarga Yasa, juga masih mengalami trauma.

"Sesudah kejadian itu, kami masih banyak rasa takut. Warga selalu kumpul-kumpul di tempat ramai agar tidak takut," katanya.

Kini, mereka pun beribadah dengan bergantian.

Saat sebagian jemaat berdoa, yang lainnya bersiaga di luar bangunan untuk menjaga keamanan.

Baca juga: Pasca-teror di Sigi, Pemerintah Diminta Evaluasi Satgas Tinombala

Pesan untuk tak mendendam

Pendeta Gereja Bala Keselamatan Desa Lembangtongoa, Sigi, Arnianto Mpapa, membawa tema kasih pada Natal tahun ini.BBC Indonesia/Eddy Junaedi Pendeta Gereja Bala Keselamatan Desa Lembangtongoa, Sigi, Arnianto Mpapa, membawa tema kasih pada Natal tahun ini.
Menjelang Natal, pendeta Bala Keselamatan Desa Lembantongoa, Arnianto Mpapa, melihat kondisi jemaat yang masih terpukul dengan peristiwa itu.

Ia mengatakan terus berupaya memberi penghiburan dan pengajaran pada jemaat bahwa meski sulit, agama mengajarkan mereka untuk tidak mendendam.

"Kita arahkan mereka untuk tetap tinggal tenang, tidak perlu ada pikiran untuk membalas. Saya bicara tentang dasar keyakinan orang Kristen. Dasar keyakinan kami adalah pengajaran mengenai kasih.

"Kita kasihi siapa pun tak memilih siapa dia," ujar Arnianto.

Baca juga: Memburu Ali Kalora, Pimpinan MIT yang Terlibat Teror di Sigi, Operasi Rutin hingga Gunakan Thermal Drone

Tema khotbahnya untuk Natal tahun ini, kata Arnianto, juga mengenai kasih.

"Dalam firman Tuhan disebutkan 'kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu'. Kami dituntut untuk mengasihi musuh. Tidak ada wewenang bagi kita memberi balasan. Kita diminta berdoa agar mereka [para pelaku] diberi kesadaran," kata Arnianto.

Lalu, apakah jemaat bisa memaafkan para pelaku? Mece, putri korban yang meninggal hanya menjawab singkat.

"Semua manusia saling memaafkan," ujarnya.

Namun, bagi jemaat lain seperti Alvianus, memaafkan masih merupakan hal yang sulit. Ia hanya berharap bisa merayakan Natal tahun ini dengan aman.

"Kami selalu mendoakan agar kami diberikan kekuatan, serta mendoakan pihak polisi dan tentara yang sedang melakukan Operasi Tinombala agar diberikan kekuatan biar cepat menangkap para pelaku," ujarnya.

Baca juga: BNPT Sebut Teroris MIT Bunuh Keluarga di Sigi karena Tak Ingin Tinggalkan Jejak

Dukungan umat Muslim

Warga setempat, baik yang Muslim maupun yang Nasrani, bahu membahu membuatkan rumah bagi para keluarga korban.BBC Indonesia/Eddy Junaedi Warga setempat, baik yang Muslim maupun yang Nasrani, bahu membahu membuatkan rumah bagi para keluarga korban.
Arifin, salah seorang warga Desa Lembontongoa yang beragama Islam mengatakan bahwa pasca kejadian itu, warga langsung turun tangan membantu keluarga korban.

"Kami di sini sepakat bahwa yang melakukan tindakan keji itu tidak mewakili agama mana pun. Kami, sejak kejadian hingga hari ini, bersama dengan teman-teman lainya membantu keluarga korban dengan semampu kami," ucapnya.

Dengan keterbatasan materi yang ada, Arifin mengatakan warga non-Nasrani membantu para korban dengan ikut membangun rumah-rumah mereka yang hancur.

Baca juga: Kutuk Aksi Teror di Sigi, Ketua MPR: Jangan Biarkan Negara Kalah oleh Kelompok Teroris

Dalam perayaan Natal sebuah gereja di desa itu, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Jemaat Yarden, misalnya, umat Muslim ikut mengamankan acara yang diadakan tanggal 19 Desember itu.

"Kami warga yang Muslim bersama polisi dan tentara menjaga keamanan dan kenyamanan ibadah saudara kami yang beragama Kristen dalam menjalankan ibadah Natal."

"Kegiatan ini sudah berlangsung lama, sebelum kejadian itu," ucap Arifin.

Sarman, seorang Muslim di daerah itu, juga menceritakan kondisi toleransi warga.

Baca juga: Teror di Sigi, BNPT Sebut karena MIT Ali Kalora Kekurangan Logistik

Saat pemakaman korban pembantaian lalu, misalnya, jumlah umat Muslim yang hadir di pemakaman mendominasi, kata Sarman.

"Kerukunan sangat baik di daerah ini barangkali bisa dijadikan contoh. Kami tak pernah ada konflik," katanya.

Hal ini diamini pula pendeta Bala Keselamatan Arnianto Mpapa.

"Warga Muslim dan warga Kristen bercampur bersama sejak kejadian hingga pemakaman para korban. Kami di sini saling membantu dan itu hal yang luar biasa di Lembantongoa," katanya.

Baca juga: Teror di Sigi, Idham Azis Perintahkan Polisi Tembak Mati Anggota MIT apabila Melawan

'Niat memantik perpecahan horisontal'

Warga Muslim turut menjaga ibadah Natal yang diadakan GKST 19 Desember lalu.BBC Indonesia/Eddy Junaedi Warga Muslim turut menjaga ibadah Natal yang diadakan GKST 19 Desember lalu.
Penyerangan ini terjadi di tengah operasi yang dilakukan Satuan Tugas Operasi Tinombala untuk mengatasi kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Menurut Noor Huda, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, kelompok itu memilih momentum mendekati Natal untuk memperoleh dukungan yang lebih luas dan memantik perpecahan horisontal.

Menurutnya, serangan itu, harus dipandang serius oleh pemerintah karena kelompok itu mencoba membangkitkan luka lama sektarian.

Ia pun menyarankan pemimpin agama untuk saling menunjukkan solidaritas.

"Saya kira pemimpin agama dua kubu harus sama-sama berbicara bahwa terorisme tidak mengenal agama dan ras. Yang mayoritas harus tunjukan solidaritasnya, misalnya, dengan menjaga gereja," kata Noor Huda.

Baca juga: PGI Percayakan Kasus Pembunuhan di Sigi pada Polisi dan Minta Masyarakat Tenang

Tak mau tenggelam dalam duka

Setelah kejadian pembunuhan, warga Dusun Lenowu mengungsi ke Pusat Desa Lembangtongoa yang jaraknya dua jam perjalanan dengan motor.BBC Indonesia/Eddy Junaedi Setelah kejadian pembunuhan, warga Dusun Lenowu mengungsi ke Pusat Desa Lembangtongoa yang jaraknya dua jam perjalanan dengan motor.
Di Desa Lembantongoa, Yospianda, seorang warga yang berusia 80 tahun mengatakan ia berharap Natal membawa hari-hari yang lebih baik di masa depan.

"Mudah-mudahan kita mendapat keselamatan, kesejahteraan dalam menghadapi Natal ini supaya bisa melangkah tahun 2021 dengan sukacita, jangan kita berduka terus, kita tanggalkan itu," ujarnya.

Ia juga mengimbau warga untuk tak lagi takut beraktivitas, seperti berkebun, karena banyaknya aparat keamanan yang menjaga daerah tersebut.

Baca juga: Mahfud Tegaskan Pembunuhan di Sigi Tak Mewakili Agama Tertentu

Yospianda juga mengatakan ia akan mengampuni pelaku yang menghabisi nyawa keluarga Yasa, yang dulu sering dibantunya untuk memetik hasil tanaman kopi.

"Dalam kitab suci dikatakan kita harus mengampuni satu sama lain. Saya memaafkan para pelaku, walau kami belum melihat mereka," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com