Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ummi, Jangan Tinggalkan Saya, Takut Hari Terakhirku Tak Ada yang Temani"

Kompas.com - 08/12/2020, 05:55 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Khairina

Tim Redaksi

‘’Sudah saya kasih tahu semuanya, keluarga banyak di Nunukan, omnya, tantenya, sepupu, semua bilang takut kena corona, padahal bukan corona dia ini kasihan, memang sakit dia,’’katanya.

Andi Niswa masih berusaha tegar, namun duka dan perasaan seorang ibu tak mampu membendung buliran air mata yang terus keluar, kesedihan semakin menyeruak, beberapa kali ia menyeka air mata dengan kerudung yang ia kenakan.

‘’Sudah tidak ada lagi apa apa saya punya, tidak bisa bawa dia ke rumah sakit buat periksa, jadi semampunya saya menjaga dan terus berdoa,’’lanjutnya terisak.


Baru bertemu dengan Susi setelah 8 tahun berpisah

Lika liku kehidupan Andi Niswah memang menjadi ujian kehidupan yang berat. Ia menuturkan, sejak Susi Susanti berusia 5 bulan, abahnya meninggal dunia sehingga Niswa harus banting tulang sendirian untuk hidup kedua putrinya.

Niswa dikaruniai dua putri, dari perkawinannya di Bone Sulawesi Selatan yang merupakan kampung halamannya. Putri pertama bernama Satriani yang segera wisuda di bulan Desember 2020 ini, ia berhasil menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bone.

Baca juga: Viral Video Ratusan Perempuan Senam Zumba Abaikan Protokol Kesehatan di Kantor Bupati Lombok Tengah

Kedua anaknya selama ini tinggal di Bone ikut saudara. Niswa melanjutkan, pada 2012, ia mencoba peruntungannya dengan memasok pakaian ke Tawau – Malaysia. Namun sejak pelabuhan Tawau direnovasi, otoritas setempat menerapkan kebijakan timbang untuk semua barang masuk.

Biaya kirim kian mahal dan tak ada lagi keuntungan, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sebagai buruh ikat rumput laut di Nunukan.

‘’Jadi terakhir saya bertemu anakku itu mungkin 2012, sudah delapan tahunan, paling lihat dari foto yang dikirim lewat HP, begitu jumpa lagi, dia begini (sakit) kondisinya, bagaimana saya tidak menangis?,’’katanya.

Semua biaya kuliah putri pertamanya adalah hasil mabettang. Niswa bekerja cukup keras demi cita-citanya mengantar anaknya menjadi sukses.

Setiap hari ia berjalan kaki ke lokasi kerja di Sei Lancang, yang berjarak sekitar 1 jam berjalan kaki dari tempat tinggalnya di desa Mammolok.

Saat harga rumput laut mahal, dalam sehari ia bisa membawa Rp 100.000, bekerja dari pukul 06.30 Wita sampai 17.00 Wita. Uang tersebut, ia belanjakan kerupuk, teh gelas dan air mineral untuk dijual di tempatnya mengikat benih rumput laut.

‘’Kadang goreng bakwan dan jalangkote, saya bawa ke lokasi kerja, lumayan bisa buat ikut arisan uangnya,’’katanya lagi.

Namun kini, tabungannya sudah sama sekali habis, terakhir kali ia mengirimkan uang Rp.8 juta untuk kebutuhan putri pertamanya membayar kuliah, itupun kebetulan ia mendapat uang arisan.


Tetap semangat kuliah

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com