Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Olah Pangan Lokal, Usaha Kelompok Masyarakat Ini Beromzet Jutaan Rupiah Selama Pandemi

Kompas.com - 22/10/2020, 13:50 WIB
Kontributor Sumba, Ignasius Sara,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

WAINGAPU, KOMPAS.com - Kelompok Masyarakat Pelestarian Hutan (KMPH) Opang Madangu, Desa Bidi Praing, Kecamatan Lewa Tidahu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menghasilkan keuntungan jutaan rupiah selama pandemi Covid-19.

Mereka menjual produk pangan lokal berupa keripik dari berbagai bahan seperti ubi, ubi ungu, dan talas. Mereka juga menjual olahan kacang mete.

"Sekitar Rp 6 juta hingga Rp 7 juta per bulan," kata Ketua KMPH Opang Madangu Daud Lewumbani saat dihubungi Kompas.com, Rabu (21/10/2020).

Ia mengatakan, KMPH Opang Madangu merupakan kelompok masyarakat binaan Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) sejak 2018.

Saat ini, KMPH Opung Madangu menghasilkan ratusan keripik dalam kemasan setiap hari.

Baca juga: Mengaku Dipukul Kekasihnya di Apartemen, Perempuan Ini Pecah Kaca Jendela untuk Cari Bantuan

Daud menjelaskan, terdapat enam anggota aktif KMPH. Sementara 16 orang lain masih sibuk mengelola lahan pertanian masing-masing.

"Untuk sekarang ini kegiatannya kelompok. Jadi, kelompok itu awalnya kan dilatih bagaimana cara membuatnya. Dan, sesudah mahir ada anggota kelompok yang membuatnya di rumah masing-masing. Nanti Setelah dibuat, kita kemas lagi di dalam kelompok," ujar Daud.

Harga keripik dan kacang mete itu bervariasi, mulai Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per bungkus.

Sejauh ini pemasaran produk pangan lokal tersebut masih di sekitar Pulau Sumba.

Daud mengucapkan terima kasih kepada TN Matalawa yang sudah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Kepala Balai TN Matalawa Ir Memen Suparman (kanan) memamerkan sampel produk pangan lokal di ruang kerjanya, Rabu (21/10/2020).KOMPAS.com/IGNASIUS SARA Kepala Balai TN Matalawa Ir Memen Suparman (kanan) memamerkan sampel produk pangan lokal di ruang kerjanya, Rabu (21/10/2020).
Sementara itu, Kepala Balai TN Matalawa Memen Suparman mengatakan, taman nasional tetap memberikan fasilitas dan akses kepada masyarakat untuk memanfatkan hasil hutan bukan kayu di zona tradisional.

"Ini sudah berlangsung di beberapa kelompok. Ada 12 desa yang sudah kita fasilitasi dalam bentuk perjanjian kerja sama dengan kelompok masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu ini," ujar Memen kepada Kompas.com di Kantor Balai TN Matalawa, Rabu.

Balai TN Matalawa juga memberikan bantuan peralatan kepada sejumlah kelompok masyarakat itu.

Sehingga, hasil hutan yang dulu dijual dalam bentuk mentah bisa diolah untuk menaikkan nilai jual.

Baca juga: Tiba di Tasikmalaya, Kembar Trena Treni Kunjungi Makam Ibu, Kompak Berkerudung Hijau

"Makanya kita berikan peralatan untuk masyarakat bisa mengolah hasil itu sehingga harga bahan-bahan itu bisa jadi lebih mahal," kata Memen menambahkan.

Selain itu, masyarakat juga diberi pelatihan dan dikirim ke Pulau Jawa untuk studi banding.

Saat ini, kelompok masyarakat binaan TN Matalawa di dua belas desa tersebut sudah menghasilkan keripik, jamu, kursi dari bahan rotan, kacang mete, kopi bubuk, dan manisan kolang kaling dengan aneka rasa.

Memen mengimbau seluruh masyarakat untuk tetap melestarikan hutan.

"Mari kita bersama-sama menjaga kawasan hutan, terutama dari kebakaran. Karena alam ini bukan warisan nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu kita," pungkas Memen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com