Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Sina Beranti, Pakaian Pengantin Adat Suku Tidung di Uang Pecahan Rp 75.000

Kompas.com - 19/08/2020, 05:00 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Dony Aprian

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Pakaian pengantin adat Tidung menjadi sorotan pasca Bank Indonesia (BI) mengeluarkan uang pecahan Rp 75.000 yang merupakan edisi khusus Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia.

Koordinator lembaga adat Suku Tidung di Nunukan, Kalimantan Utara, Sura’i mengatakan, ada sejumlah pakaian adat Tidung yang belum terlalu dikenal.

Masing–masing Pelimbangan dan Kurung Bantut yang merupakan busana keseharian adat Suku Tidung.

Selain itu, kata dia, ada Selampoy yang biasa digunakan dalam ritual dan upacara adat dan Talulandom yang menjadi pakaian resmi kala menyambut tamu kehormatan atau menghadiri acara penting lainnya.

"Kalau yang ada di mata uang baru itu adalah pakaian pengantin suku kami, itu Sina Beranti yang dipakai untuk pengantin laki laki, sementara untuk pengantin perempuan namanya Antakusuma," ujar Sura’i, Selasa (18/08/2020).

Baca juga: Cerita Orangtua yang Anaknya Ada di Uang Rp 75.000: Saat Pemotretan Katanya Rahasia

Sina Beranti merupakan pakaian yang hanya dipakai saat persandingan suku yang mayoritas muslim.

Setiap ornamen yang teletak di Sina Beranti dan Antakusuma, memiliki makna tersendiri.

Mahkota di kepala disebut dengan Tanduk Galung, yang memiliki arti kucing laki-laki tiga warna.

Kepercayaan Suku Tidung, ketika kucing jantan memiliki bulu berwarna tiga jenis, jika dipelihara suatu saat akan muncul tanduk.

Kepercayaan ini dibuktikan pada sekitar tahun 1919.

Kala itu, sosok guru Panyed yang merupakan kepala kampung pertama di Nunukan memiliki kucing dengan ciri tersebut.

"Dari mananya kita enggak paham, tapi itu dikeramatkan, fungsinya menangkal bala bencana, mendatangkan rejeki, kesejahteraan, kedamaian dan sebagainya, serta disenangi orang. Pengantin itu raja atau pemimpin, seorang pemimpin harus disenangi rakyatnya, makanya baju pengantin itu sakral dan kepercayaan itu sudah ratusan tahun," katanya.

Baca juga: Masyarakat Papua Bangga Gambar Jembatan Youtefa Masuk di Uang Rp 75.000

Ornamen lain adalah gelang tangan atau Sulou yang berarti pendingin atau Binsaloi dalam bahasa Tidung, pemimpin seyogyanya bertangan dingin dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya.

Pada Sulou terdapat ukiran Wapak yang berarti doa doa agar setiap keputusan yang keluar mendapat ridho dari sang pemberi kehidupan.

Di lengan pengantin Tidung melingkar gelang yang disebut Kalid.

Kalid merupakan symbol dari pertahanan, benteng tangguh untuk keamanan, sekaligus perlindungan diri dari makhluk astral, ghaib juga mistis.

"Suku Tidung itu serba Wapak (Penuh puja puji dan doa), dulu Tanduk Galung tidak diperlihatkan, disembunyikan dalam Singal (Sorban), dibalut di kepala, karena melestarikan seni budaya, maka dimunculkan, agar generasi kita tahu adat istiadat kita,’’lanjut Sura’i.

Prosesi pernikahan Suku Tidung

Layaknya pernikahan pada umumnya, Suku Tidung juga memiliki prosesi tersendiri yang dilakukan turun temurun.

Dimulai dari proses melamar atau Berseluan, yaitu mengidentifikasi calon menantu.

Dalam tahap ini, pihak laki laki yang melamar akan dipanggil dan disuruh mencari kutu rambut di kepala calon mertua, selama tiga kali.

"Kalau telaten, maka dia akan menjadi menantu, sebaliknya kalau uring–uringan maka pernikahan tidak akan terjadi alias batal," tutur Sura’i lebih lanjut.

Baca juga: Dapatkan Uang Rp 75.000 Edisi Kemerdekaan, Warga: Tidak Sesulit yang Dipikirkan

Tahap selanjutnya adalah Beukum, sebuah proses menyampaikan kata–kata non verbal, dengan cara mengikat daun sirih lalu melemparkannya ke pihak perempuan.

Jika perempuan membalas lemparan artinya lamarannya diterima.

Berdasarkan kepercayaan Suku Tidung, daun sirih adalah lambang kehidupan.

Dalam keseharian mereka, daun sirih dijadikan obat–obatan dan untuk terhindar dari sihir.

Melangkah ke tahapan Egatod, yaitu pengantaran mahar.

Dalam tahap ini, keluarga pelamar berbalas pantun khas Tidung, yang intinya adalah ingin menjalin keluarga besar dengan keluarga perempuan.

Usai berbalas pantun, proses berlanjut ke tahap Beukum.

Di sini, terjadi transaksi tawar menawar mahar atau seserahan untuk calon mempelai wanita, hingga kesepakatan hari pernikahan atau Be Irau (pesta).

Jika sudah diputuskan oleh kedua belah pihak, maka ritual adat bernama Kiwon Bepupur dimulai, pupur basah dari kembang tujuh rupa, tepung beras, beras ketan hitam dan putih dicampurkan menjadi satu, lalu dibalurkan kepada kedua calon mempelai.

"Memiliki arti menghilangkan sengkala, jadi kedua calon mempelai kembali ke fitrah, dan gangguan di badannya akan bersih setelah prosesi Bepupur," imbuhnya.

Biasanya di panggung pengantin terdapat hiasan dua ekor naga merah yang menurut kepercayaan leluhur disebut Pegelian, yaitu makhluk misterius yang tak pernah dilihat tapi selalu membantu Suku Tidung dan sewaktu–waktu bisa dipanggil saat mendapat kesulitan dan rintangan.

Proses berikutnya adalah menuju pelaminan atau Belamin. Belamin memiliki arti bersatunya dua orang berlainan jenis menjadi keluarga.

Dalam proses ini, laki–laki akan diminta menggigit belati atau parang dan batu asah.

Menggigit belati bermakna laki–laki adalah pencari nafkah.

Masyarakat adat Suku Tidung identik dengan petani, sehingga belati menjadi perlambang pekerjaan laki–laki.

Sedangkan batu asah bermakna pasangan dari belati yang menajamkan atau diartikan sebagai istri.

Ketika belati tumpul, maka pekerjaan suami akan terganggu, sehingga keduanya tak mungkin dipisahkan.

Ritual berlanjut dengan minum air putih, dan masuk ke tahap berikut yaitu Bebantang yang berarti duduk bersanding.

Setelah itu, giliran pihak perempuan datang ke laki–laki.

Hal ini dilakukan dalam tiga hari tiga malam dengan iringan tarian zapin dan tabuhan rebana.

"Selama itu keduanya tidak boleh menginjak tanah atau tonjolan dan anak tangga, sebagai simbol mahligai rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah, selama itu pula sholawat pujian diperdengarkan, saat keluar keduanya ditabur beras kuning sebagai doa keselamatan," jelasnya.

Upaya pelestarian adat Suku Tidung

Sura’i yang juga sebagai kepala bagian pemerintahan di Sekretariat Pemerintah Kabupaten Nunukan tengah berupaya melestarikan adat istiadat dan budaya Tidung yang kian terkikis zaman.

Dalam upaya ini, terbangun sebuah rumah adat Tidung Baloy di Desa Binusan.

Gedung ini nantinya akan menjadi museum dan pusat belajar masyarakat di Nunukan khususnya Suku Tidung.

Saat ini, Suku Tidung Nunukan tengah mengumpulkan peninggalan, penggalan sejarah, pusaka dan alat musik sekaligus kerajinan khas Suku Tidung.

"Kita berupaya menyusun sebuah Perda yang nanti akan diusulkan Bupati dan kami harap disetujui 25 anggota DPRD, bahasa Tidung masuk dalam kurikulum SD di Nunukan, begitu pula tarian, dan sejarah kita, Nunukan butuh ciri khas agar lebih dikenal luas," harapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com