Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Foto Viral Anjing Bernyanyi di Papua, Tak Bisa Menggonggong dan Dianggap Sakral

Kompas.com - 28/07/2020, 10:23 WIB
Dhias Suwandi,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

 

Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Anis Acha Sokoy mengatakan, belum ada kajian khusus mengenai binatang tersebut. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran TN Lorentz.

"Sampai sejauh ini belum diadakan kajian lebih mendetail untuk mengetahui jumlah populasi dan dari jenis ini pun belum pernah dilakukan kajian secara genetik untuk mengklasifikasikan nama spesiesnya itu apa," kata Anis saat dihubungi lewat sambungan telepon.

Dari strategi pengelolaan satwa yang dilindungi, terang Anis, jenis ini belum masuk dalam kategori spesies prioritas yang masuk di kawasan Taman Nasional Lorentz.

"Kami masih terbatas pada tiga spesies, yaitu kangguru pohon, cenderawasih dan kura-kura moncong babi," kata dia.

Berdasarkan hasil dokumentasi Balai Taman Nasional Lorentz dan masyarakat, populasi singing dog menyebar di dua wilayah adat, yakni Megapo dan Lapago.

Baca juga: Kisah Pilu Maria, Perut Membesar karena Penyakit Kista, Tak Punya Biaya untuk Berobat

Kedua wilayah adat tersebut berada di dataran tinggi dan sebagian besar masuk di kawasan Taman Nasional Lorentz.

"Kalau yang warna hitam dan dadanya putih itu teman-teman ambil gambarnya di wilayah Kaki Gunung Trikora di sekitar Danau Habema (Kabupaten Jayawijaya), kemudian ada warna coklat itu umumnya ditemukan di dekat Cartenz," kata Anis.

Dianggap Sakral dan Terancam Punah

Cerita rakyat mengenai Papua singing dog hingga kini belum didapatkan karena belum bisa menghubungi pihak yang kompeten.

Para antropolog dan budayawan Papua mengaku belum mengetahui secara rinci informasi dan keberadaan Papua singing dog

Namun, Anis mengatakan, anjing itu dianggap sakral bagi masyarakat yang berada di wilayah Mepago.

"Tepat sekali, dari suku Moni dan beberapa suku pegunungan menganggap ini hewan sakral, tapi dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya yang kadang menjadi ancaman terhadap spesies-spesies yang secara kearifan lokal sebenarnya disakralkan," tutur Anis.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com