Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Foto Viral Anjing Bernyanyi di Papua, Tak Bisa Menggonggong dan Dianggap Sakral

Kompas.com - 28/07/2020, 10:23 WIB
Dhias Suwandi,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

JAYAPURA, KOMPAS.com - Informasi mengenai satwa khas yang merupakan endemik asli di Provinsi Papua baru sebatas pada burung cenderawasih, kangguru pohon, kura-kura moncong babi, babi hutan, dan beberapa satwa lainnya.

Namun, belum lama ini media sosial ramai membicarakan keberadaan spesies anjing yang secara fisik mirip serigala atau rubah.

Anjing itu berhasil didokumentasikan seorang pekerja PT Freeport.

Peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto mengatakan, binatang itu merupakan anjing Papua atau anjing Nugini yang dikenal dengan New Guinea Singing Dog.

Hari menyebutkan, beberapa ahli menanggap binatang ini sebagai anjing paling primitif yang diperkenalkan kepada penduduk dataran tinggi Papua sejak beberapa ribu tahun silam.

"Anjing Nugini berasal dari jenis yang istimewa, canis familiaris hallstromi," kata Hari lewat surat elektronik, Senin (27/7/2020).

Baca juga: Cerita Tenaga Medis di Pedalaman Flores, Menunggu di Bawah Pohon untuk Dapat Sinyal

Namun, anjing ini berbeda. Anjing Papua tak bisa menggonggong. Binatang ini melolong sehingga terdengar seperti bernyanyi.

Bahkan, kata Hari, anjing itu sangat sensitif terhadap cahaya bulan purnama dan kerap melolong pada momen tersebut.

"Diperkirakan mungkin saja anjing-anjing tersebut tidak senang pada sinar bulan. Namun bisa juga adalah suara kegembiraan, hanya manusia saja yang terganggu mendengar suara-suara anjing tersebut. Kehadiran bulan di malam hari rupanya membuat suara rintihan anjing itu bersahut-sahutan atau seolah-olah estafet mengikuti arah pergerakan bulan dari timur ke barat," jelas Hari.

Hari menyayangkan, populasi singing dog tersisa beberapa ekor dari jenis asli. Binatang primitif ini hanya bisa dijumpai di dataran tinggi Papua dengan ketinggian 3352 mdpl hingga 4267 mdpl.

Sebelum didokumentasikan oleh akun twitter @anagdianto pada 23 Juli 2020, Anjing canis familiaris hallstromi pernah dijumpai di Puncak Jaya dengan ketinggian 3460 hingga 4400 mdpl, pada 2016.

Minim kajian

Meski diyakini sebagai salah satu spesies endemik asli Papua, kajian dan literasi tentang anjing Papua masih minim.

 

Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Anis Acha Sokoy mengatakan, belum ada kajian khusus mengenai binatang tersebut. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran TN Lorentz.

"Sampai sejauh ini belum diadakan kajian lebih mendetail untuk mengetahui jumlah populasi dan dari jenis ini pun belum pernah dilakukan kajian secara genetik untuk mengklasifikasikan nama spesiesnya itu apa," kata Anis saat dihubungi lewat sambungan telepon.

Dari strategi pengelolaan satwa yang dilindungi, terang Anis, jenis ini belum masuk dalam kategori spesies prioritas yang masuk di kawasan Taman Nasional Lorentz.

"Kami masih terbatas pada tiga spesies, yaitu kangguru pohon, cenderawasih dan kura-kura moncong babi," kata dia.

Berdasarkan hasil dokumentasi Balai Taman Nasional Lorentz dan masyarakat, populasi singing dog menyebar di dua wilayah adat, yakni Megapo dan Lapago.

Baca juga: Kisah Pilu Maria, Perut Membesar karena Penyakit Kista, Tak Punya Biaya untuk Berobat

Kedua wilayah adat tersebut berada di dataran tinggi dan sebagian besar masuk di kawasan Taman Nasional Lorentz.

"Kalau yang warna hitam dan dadanya putih itu teman-teman ambil gambarnya di wilayah Kaki Gunung Trikora di sekitar Danau Habema (Kabupaten Jayawijaya), kemudian ada warna coklat itu umumnya ditemukan di dekat Cartenz," kata Anis.

Dianggap Sakral dan Terancam Punah

Cerita rakyat mengenai Papua singing dog hingga kini belum didapatkan karena belum bisa menghubungi pihak yang kompeten.

Para antropolog dan budayawan Papua mengaku belum mengetahui secara rinci informasi dan keberadaan Papua singing dog

Namun, Anis mengatakan, anjing itu dianggap sakral bagi masyarakat yang berada di wilayah Mepago.

"Tepat sekali, dari suku Moni dan beberapa suku pegunungan menganggap ini hewan sakral, tapi dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya yang kadang menjadi ancaman terhadap spesies-spesies yang secara kearifan lokal sebenarnya disakralkan," tutur Anis.

 

Kesakralan satwa tersebut, menurut dia, juga terbukti dengan tidak mudahnya orang menemui dan mendokumentasikan anjing Nugini.

"Diburu" fotografer luar negeri

Berdasarkan informasi yang didapat Anis, banyak fotografer dari luar negeri yang sengaja datang ke Wamena hingga Cartenz untuk mendokumentasikan Papua singing dog.

Sebagian besar di antara fotografer itu harus pulang dengan tangan hampa.

Ia pun menganggap pemilik akun Twitter @anangdianto beruntung bisa mendokumentasikan anjing Papua itu.

"Sebenarnya ini ada faktor keberuntungan juga, memang untuk menemukan spesies ini ada faktor keberuntungan juga, terkadang kita sudah mencari berminggu-minggu pun sampai menginap di hutan ketika tidak beruntung ya tidak ketemu," ujar Anis.

Baca juga: Tembok yang Dibangun di Depan Rumah Warga karena Masalah Kotoran Ayam Akan Dibongkar

Sangat minimnya jumlah pertemuan antara manusia dengan Papua Singing Dog memunculkan anggapan satwa tersebut terancam punah.

Anis menilai pemekaran wilayah dan semakin gencarnya pembangunan di wilayah pegunungan membuat ruang jelajah Papua Singing Dog menyempit.

"Sangat-sangat memungkinkan (terancam punah) karena spesies ini adalah spesies yang daya jelajahnya terbatas pada ketinggian di atas 3.000 mdpl, dengan pemekaran wilayah, kemudian mungkin faktor konsumsi masyarakat mungkin mempengaruhi terancam punahnya spesies ini," kata dia.

Anis belum memastikan, apakah bakal ada penelitian untuk mengetahui populasi Papua Singing Dog di masa depan.

Akan tetapi, sangat disayangkan jika satwa tersebut punah sebelum informasi mengenai spesias itu diketahui secara lengkap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com