Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Divonis 1,5 Tahun pada April, Dosen Pelaku Kekerasan Seksual Kembali Muncul di Kampus

Kompas.com - 20/07/2020, 17:50 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Dewantara,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

PALANGKA RAYA, KOMPAS.com - Kemunculan PS, dosen yang jadi terpidana kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa, di lingkungan kampus Universitas Palangka Raya (UPR), memantik pertanyaan publik.

Sejumlah mahasiswa menyebut PS muncul di ruang program studi Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UPR di awal Juni.

Sebuah foto yang membuktikan hal itu juga beredar di kalangan penggiat organisasi perlindungan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Tengah sejak beberapa waktu lalu.

Baca juga: Gunakan WC Umum, Seorang Perempuan Mengalami Pelecehan Seksual

Hal itulah yang melatari sejumlah lembaga dan aktivis di Palangka Raya menggaungkan keprihatinan.

Mereka bahkan melayangkan surat terbuka kepada sejumlah institusi terkait, yakni Universitas Palangka Raya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi cq. Badan Pertimbangan Kepegawaian, dan Gubernur Kalimantan Tengah.

Surat terbuka itu ditandatangani sejumlah lembaga dan personal yang berasal dari beragam latar belakang pada 15 Juli 2020.

Lembaga dan personal tersebut lalu menamakan diri Koalisi Anti Kekerasan Seksual (Koalisi AKS).

Tuntut Pemberhentian Tidak dengan Hormat

Surat terbuka 15 Juli itu kemudian ditindaklanjuti dengan menggelar siaran pers dan diskusi daring dari Palangka Raya, Minggu (19/7/2020).

"Belakangan pelaku terlihat berada di lingkungan Universitas Palangka Raya. Hal ini membuat para korban mendapatkan tekanan psikologis tambahan karena pelaku tidak menjalani hukuman kurungan," ujar Tri Oktafiani, penggiat Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (eLSPA) yang merupakan salah satu komponen dalam Koalisi AKS, Senin (20/7/2020).

Ani melanjutkan, pelaku juga dikabarkan sedang mengurus pensiun dini sehingga berhak mendapatkan hak pensiun.

Aksi terpidana ini dinilainya sebagai tindakan merendahkan martabat lembaga dan profesi pendidik.

Terlebih, PS semestinya masih menjalani kurungan badan di Rutan Kelas IIA Palangka Raya.

Sebab, PS telah dinyatakan terbukti bersalah sehingga dipidana 1 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 6 April.

Baca juga: Fakta-fakta Predator Seksual 305 Anak Asal Perancis Meninggal karena Percobaan Bunuh Diri

Menurut catatan Koalisi AKS, vonis tersebut tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya dengan Nomor: 23/Pid.B/2020/PN Plk. 

Karena itu, Koalisi AKS dalam siaran persnya kembali menyuarakan tuntutan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap pelaku yang merupakan dosen berstatus aparatur sipil negara (ASN) di kampus terbesar di Kalimantan Tengah.

 

Koalisi AKS menilai tuntutan tersebut demi memenuhi rasa keadilan bagi para korban.

Dihubungi melalui telepon, Senin (20/7/2020), kuasa hukum para korban dari Firma Hukum Pasah Kahanjak, Ditta, menyebut kemunculan PS patut menjadi pertanyaan.

Sebab secara kronologis, masa penahananan yang bersangkutan mestinya masih berjalan.

"Apakah yang bersangkutan mendapat remisi, atau jadi tahanan kota? Atau ikut dalam program asimilasi Covid-19, atau bagaimana?" tanyanya heran.

Baca juga: Korban Eksploitasi Seksual WNA Perancis di Jakarta Mayoritas Anak Jalanan

Ditta mengesampingkan kemungkinan terpidana yang baru beberapa bulan divonis mendapat remisi atau pemotongan masa tahanan.

"Atau kalau misal mengajukan permohonan tahanan kota, harus ada penjamin" imbuhnya.

Soal kemungkinan terpidana sudah bebas, salah seorang jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus tersebut, Heppi Christian Hutapea, juga menyangkalnya.

Menurut dia, berdasarkan aturan seorang terpidana harus menjalani minimal 2/3 masa tahanannya dulu sebelum berhak mendapatkan pemotongan hukuman.

"Dalam kasus ini yang bersangkutan harusnya menjalani minimal 1 tahun dulu, kan? Sekarang ini, kan, belum sampai segitu (1 tahun)," terang Heppi yang dihubungi terpisah.

Baca juga: Pusat Kajian Gender UGM: Tak Semua Bentuk Kekerasan Seksual Diatur Undang-undang

Jika benar kabar PS sudah berada di luar Rutan Kelas IIA Palangka Raya, lanjut dia, yang paling memungkinkan adalah lewat program asimilasi yang diberikan Kementerian Hukum dan HAM dalam masa pandemi Covid-19.

"Coba saja cek ke Kemenkumham, siapa tahu ada informasinya," saran Heppi.

Dia juga memastikan tidak ada upaya banding dari kedua belah pihak sehingga putusan pengadilan pada kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap. 

 

Buat Protokol Penanganan

Sementara itu, akademisi Paulus Alfons Yance Dhanarto yang juga komponen Koalisi AKS berharap ada tindakan konkret dari rektorat agar peristiwa kekerasan seksual di lingkungan kampus UPR tidak lagi terulang.

Dosen di Fisip UPR ini ini mendorong pembentukan semacam protokol penanganan kasus kekerasan seksual, tidak hanya yang melibatkan dosen, tapi juga mahasiswa.

"Dengan adanya protokol diharapkan secara perlahan timbul kesadaran dan keberanian dari para korban untuk melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya," ujar Dhanar. 

Baca juga: Kasus Perkosaan Disebut Seks Kasar, Ini Kisah 2 Korban Serangan Seksual di Inggris

Jika UPR berhasil membentuk protokol tersebut, hal itu akan menjadi prestasi tersendiri bagi kampus.

"Bahkan bisa jadi preseden bagi kampus lain terutama di di Kalimantan, terkait penanganan kasus kekerasan seksual di kampus," tutupnya.        

Dia mengapresiasi tindakan rektorat yang sejak awal kasus ini bergulir tahun lalu telah memberhentikan pelaku dari jabatan sebagai kaprodi dan dosen di Program Studi Fisika FKIP UPR.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com