Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mayoritas Warga Surabaya Patuh Protokol Kesehatan, Kok Kasus Covid-19 Melonjak Tajam?

Kompas.com - 17/07/2020, 09:59 WIB
Ghinan Salman,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Kepatuhan warga Kota Surabaya, Jawa Timur, terhadap anjuran pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 tinggi.

Hal itu terlihat berdasarkan survei yang dikeluarkan oleh Nanyang Technological University (NTU) Singapura bekerja sama dengan organisasi relawan Laporcovid19.org.

Associate Professor Sosiologi Bencana NTU Singapura Sulfikar Amir mengatakan, ada tiga hal yang ditanyakan terkait aspek perilaku kesehatan kepada responden dari Surabaya.

Ketiga hal itu ialah perilaku mencuci tangan, penggunaan masker, dan menjaga jarak.

"Perilaku kesehatan di Surabaya, paling tidak menurut pengakuan responden, itu cukup baik. Sangat baik sebenarnya," kata Sulfikar, dalam webinar Lapor Covid-19 melalui aplikasi Zoom, Kamis (16/7/2020).

Baca juga: Survei: Mayoritas Warga Surabaya Cenderung Anggap Enteng Risiko Terkena Covid-19

Sulfikar menuturkan, ada 43 persen responden yang menyatakan selalu dan 50 persen responden mengatakan sering mencuci tangan setiap hari.

Angka ini cukup tinggi karena secara kesluruhan, yakni sebanyak 93 persen responden menjawab selalu dan sering mencuci tangan untuk mengantisipasi penularan Covid-19.

Sementara, mengenai penggunaan masker, 83 persen responden menjawab selalu dan 15 persen responden mengaku sering menggunakan masker di luar rumah.

Secara keseluruhan, ada 98 persen responden mengaku selalu dan sering menggunakan masker saat keluar rumah.

"Nah, ini paling penting, karena kemarin cukup kontroversial karena ada berita yang mengatakan 70 persen warga Surabaya tidak menggunakan masker," ujar Sulfikar.

Adapun, sebanyak 60 persen mengatakan selalu jaga jarak dan 31 persen menjawab sering melakukan physical distancing di luar rumah.

Total terdapat 91 persen responden yang mengaku selalu jaga jarak dan sering melakukannya ketika berada di luar rumah.

Survei yang dikeluarkan oleh Social Resiliene Lab NTU Singapura bersama organisasi Lapor Covid-19 dilakukan pada 19 Juni hingga 10 Juli 2020.

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data merupakan metode kuota sampling dengan variabel penduduk per kelurahan.

Sedangkan metode analisis survei ini menggunakan formula Spearman Rho untuk mengukur korelasi antara variabel dan faktor ekonomi.

Baca juga: Surabaya Dinilai Belum Siap Memulai Adaptasi Tatanan Normal Baru, Mengapa?

Survei ini dilakukan secara online menggunakan platform Quatric yang disebar melalui aplikasi pesan instan, WhatsApp, dan melibatkan 2.895 responden dari Surabaya.

Tren kasus Covid-19 tinggi

Meskipun tingkat kepatuhan warga Surabaya dalam menerapkan protokol kesehatan sangat tinggi, namun lonjakan angka kasus Covid-19 justru meningkat tajam setiap harinya, mengapa?

Saat berkunjung ke Surabaya pada 25 Juni lalu, Presiden Joko Widodo memberikan tenggat waktu dua pekan kepada Pemprov Jatim untuk menurunkan angka kasus Covid-19 di Jatim.

Saat itu, Jokowi juga menyinggung soal Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) sebagai daerah penyumbang Covid-19 tertinggi di Jatim lebih dari 50 persen.

Dua pekan berlalu, grafik pertambahan kasus, khususnya di Surabaya, justru meningkat tajam. Bahkan, Surabaya masih menjadi daerah penyumbang terbanyak angka kasus positif Covid-19 di Jatim.

Pada periode rentang waktu 26 Juni-9 Juli atau selama dua pekan tenggat waktu yang diberikan Jokowi habis, pertambahan angka kasus Covid-19 di Surabaya belum juga melandai atau masih tinggi.

Adapun survei yang dikeluarkan oleh Social Resiliene Lab NTU Singapura bersama organisasi Lapor Covid-19, terkait perilaku kesehatan warga Surabaya tak jauh berbeda dengan tenggat waktu yang diberikan Jokowi untuk menurunkan angka kasus Covid-19, yakni pada 19 Juni hingga 10 Juli 2020.

Pada 26 Juni hingga 9 Juli, secara kumulatif terdapat pertambahan angka kasus Covid-19 sebanyak 1.631 kasus di Surabaya hanya dalam dua pekan.

Setiap harinya, rata-rata pertambahan kasus Covid-19 baru di Surabaya mencapai ratusan kasus.

Sehingga, angka kasus positif Covid-19 secara kumulatif di Surabaya hingga 9 Juli lalu telah mencapai 6.781 kasus.

Baca juga: Pasutri Ini Berjualan Iguana, Omzetnya Rp 5 Juta Per Bulan, Pembeli dari Surabaya hingga Jakarta

Namun, dalam beberapa hari terakhir, meski masih ada peningkatan angka kasus positif Covid-19, setiap harinya hanya ada puluhan kasus baru.

Per Kamis (16/7/2020) kemarin, secara kumulatif angka kasus Covid-19 di Surabaya mencapai 7.431 kasus atau bertambah 39 kasus baru.

Sedangkan angka pasien sembuh terdapat 3.974 kasus atau bertambah 134 kasus. Adapun jumlah pasien positif Covid-19 meninggal di Surabaya mencapai 665 kasus atau bertambah 16 kasus dalam satu hari terakhir.

Pemkot Surabaya evaluasi setiap hari

Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19 Pemkot Surabaya M Fikser mengaku tren angka kasus positif Covid-19 di Surabaya tidak bisa dibisa dibilang turun, tetapi juga tidak bisa dikatakan tinggi.

"Saya tidak bisa bilang turun, saya juga tidak bisa bilang naik. Artinya memang ya itulah, kita tetap kerja fokus untuk kesehatan warga Surabaya," kata Fikser saat dikonfirmasi 9 Juli lalu.

Pemkot Surabaya terus melakukan evaluasi setiap hari untuk mencari cara dan pola penanganan yang harus dilakukan untuk menekan angka kasus positif Covid-19.

Upaya yang saat ini dilakukan untuk menekan angka kasus Covid-19 di Surabaya adalah dengan menerapkan micro lockdown.

Itu dilakukan jika ditemukan seseorang di wilayah perkampungan Surabaya yang terjangkit Covid-19.

Baca juga: Survei: 40 Persen Warga Surabaya Tak Percaya Pergi ke Rumah Ibadah Akan Berisiko Tertular Covid-19

Fikser mengklaim, tingginya angka kasus Covid-19 di Surabaya karena kebijakan testing berupa rapid test dan swab test sangat masif dilakukan.

Tes massal ini sudah dilakukan Pemkot Surabaya sejak mendapat bantuan mobil laboratorium PCR dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Intelijen Negara (BIN) pada Mei 2020 lalu.

"Tes massal akan terus dilakukan, supaya bisa tahu penyebarannya seperti apa di satu tempat dan tempat lain. Ini kan harus dicari karena (Covid-19) tidak bisa dilihat, carinya dengan swab itu. Makanya itu dilakukan secara massif," kata Fikser.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com