Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006: Di Balik Bencana, Gotong Royong Warga Jadi Makin Erat

Kompas.com - 27/05/2020, 12:09 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 lalu masih terekam jelas di benak salah seorang relawan Pramuka Bantul Riza Mardjuki, warga Kecamatan Pleret.

Saat itu, sebagai salah satu penggiat teater di Bantul, bersama dengan beberapa rekannya menyiapkan pentas pada 26 Mei 2006. 

Saat itu dirinya masih kuliah semester awal di salah satu uiversitas di Kota Yogyakarta.

Persiapan teater dilakukan di rumah milik temannya bernama Bagio di Kecamatan Sewon, hingga 27 Mei 2006 dini hari, sekitar pukul 04.00 WIB dirinya dan temannya baru bisa memejamkan mata. 

Baca juga: Warga Peringati 14 Tahun Gempa Yogyakarta dengan Doa Bersama dari Jauh

Dengan durasi sekitar 2 jam, waktu itu tidurnya sedang nyenyak. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dan menangis, waktu itu dirinya langsung keluar kamar dan genting berjatuhan.

"Jidat saya terluka kena genting yang jatuh," kata Riza menceritakan kepada Kompas.com  melalui sambungan telepon, Rabu (27/5/2020)

Waktu itu sekitar rumah temannya tidak ada kerusakan parah, bertahan sekitar 1 jam melihat situasi di sekitar Kecamatan Sewon dan mengecek keadaan keluarga.

Saat sedang menunggu kabar dari keluarga, dirinya melihat orang berlalu lalang dengan membawa orang terluka.

Baca juga: 13 Tahun Terpisah karena Gempa Yogyakarta, Agustinus dan Juminten Akhirnya Bertemu...

Relawan dan tim medis sampai kewalahan

 

Sebagai aktivis pramuka dan terbiasa membantu PMI, dia berangkat ke Kantor PMI Bantul. Ternyata halaman kantor PMI Bantul, bahkan sampai di sekitar jalan penuh dengan orang terluka. 

"Waktu itu yang kondisinya masih sadar dianggap hidup diletakkkan di sisi utara, dan yang sudah tidak bergerak atau meninggal diletakkan disisi selatan kantor," ucap Riza.

"Luka paling banyak pada bagian kepala, relawan dan medis selalu membawa gunting dan alat cukur untuk mencukur rambut warga. Waktu itu jika ada luka langsung dijahit agar pendaharan tidak banyak," kata Riza.

Baca juga: Menurut BNPB, Gempa Aceh Hampir Sama dengan Gempa Yogyakarta 2006

 

Relawan dan petugas medis kewalahan banyaknya korban akibat gempa Bumi itu, bahkan untuk menyangga tulang patah menggunakan sisa rangka rumah di sekitar kantor PMI.

 

Saat itu, sampai tengah hari dirinya baru teringat rumahnya di Dlingo. Waku itu dirinya masih tinggal bersama keluarga sebelum pindah ke Pleret.

Kondisi di Kecamatan Dlingo cukup tenang dan kerusakan tidak begitu parah seperti daerah kota Bantul dan sekitarnya. 

"Banyak warga Dlingo yang malah turun (posisi Dlingo di perbukitan perbatasan dengan Gunungkidul) untuk membantu warga dibawah," ucap Riza. 

Baca juga: Melawan Lupa, Napak Tilas Gempa Yogyakarta

Kegotongroyongan semakin erat

Beberapa hari kemudian suasana di Bantul semakin mencekam karena saat itu hujan turun, banyak rumah yang kondisinya miring runtuh.

Saat itu bersama relawan dirinya menghitung rumah rusak akibat gempa bumi.

"Pengalaman gempa bumi 14 tahun lalu, mengajarkan kita untuk saling mendukung, agar bisa bangkit bersama. Terbukti warga Bantul dan DIY bisa bangkit dari bencana," ucap Riza. 

Kepala Dukuh Bibis, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Irvan Muhhamad menceritakan, tak jauh berbeda kondisi saat itu.

Bahkan adiknya yang masih duduk SMP kala itu menjadi salah satu korban meninggal bersama 12 warga lainnya.

Baca juga: Antara Gempa Aceh Juli 2013 dan Gempa Yogyakarta 2006

 

Namun demikian, dengan kondisi dititik terbawah, masyarakat mampu bangkit menghadapi kehidupan selanjutnya. 

Kala itu masyarakat terpuruk, rumah yang seharusnya digunakan sebagai tempat berlindung hancur dan bahkan menyebabkan kematian anggota keluarga meninggal.

Dia berharap ke depan dengan pengalaman gempa 2006 masyarakat bisa meningkatkan sifat kegotongroyongan warga dan semakin mempererat persaudaraan sesama anak bangsa.

"Yang bisa dipetik dari pengalaman gempa adalah solidaritas dan gotong royong. Muncul jaringan masyarakat kuat bahkan mengalahkan peran pemerintah saat itu. Saat itu spontanitas warga," kata Irvan. 

Baca juga: MULTIMEDIA: 10 Tahun Gempa Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com