Pada 13 Oktober 2002 sekitar jam dua siang, Garil yang masih berusia 10 tahun ditemani kakek angkatnya melihat jenazah ayahnya diturunkan dari mobil di depan kediaman keluarganya di Denpasar.
Saat serangan teroris terparah di Indonesia itu terjadi, Garil berusia 10 tahun. Sementara adik kedua dan ketiganya masing-masing berumur lima tahun dan dua tahun,
Sementara sang ibu Endang Isnanik sedang sakit. Saat jenazah suaminya datang, ia hanya melihat dari kejauhan.
"Ada mobil kecil datang, ternyata keluar tandu. (Saya lihat dari jauh), Posisi suami saya kakinya begini (melipat kaki) keluarga pegang saya dan saya gak boleh lihat lagi. Yang lihat anak saya," cerita Endang.
Baca juga: Terpidana Bom Bali Umar Patek Diusulkan Dapat Pembebasan Bersyarat
"Saya hanya lihat posisinya lagi tidur di depan stir mobil. Seperti yang dia cerita pada malam saat berangkat dia mau minum obat sambil menunggu tamu, mungkin tertidur pulas waktu kejadian," tambahnya.
"Mayat didatangkan karena kondisi yang lengket, tak bisa dimandikan, hanya bisa ditayamun. Disalatkan di masjid, dikuburkan hari itu juga," kata Endang lagi.
Setelah sang kepala kelurga meninggal, Garil, ibu, dan adik-adiknya melewati masa berat.
Baca juga: Istri Terpidana Bom Bali Umar Patek Resmi Jadi WNI
"Setiap berjalan ke sekolah, kelas di lantai atas, dan biasanya ada bapak sama mama datang," cerita Garil.
"Saya kalau ingat di sekolah, dibandingkan adik-adik, saya yang paling ingat bapak, anak pertama yang paling disayang."
"Kaya udah tak ada tujuan hidup, bingung tak tahu gimana. Sampai SMA pun, masih gak karuan. Melihat kondisi mama, saya seperti orang depresi."
Baca juga: Cerita Keluarga Korban Bom Bali, Tak Bisa Lupakan Tapi Sudah Memaafkan