Salin Artikel

Cerita Garin Anak Korban Bom Bali I, Lihat Jenazah Ayahnya Hangus dan Memilih Mengurung Diri

Selama 17 tahun ia memilih mengurung diri di dalam kamar setiap peringatan Bom Bali pada 12 Oktober yang menewaskan sang ayah.

Selama ini Garil mengaku memendam kemarahan, kesedihan, depresi, dan trauma.

"Kalau jujur, saya pendam perasaan sendiri dalam kamar, saya tak pernah ikut, ini baru pertama kali saya ke sini. Mama ngajak terus tapi tak kuat, di rumah saja. Saya takut emosi saya menggebu-gebu mengingat kejadian itu."

"Di dalam hati saya, masih tak percaya, apalagi kalau liat foto bapak tak kuat. Di antara adik-adik, saya yang paling ngrasain bersama bapak," jelas Garil dilansir dari BBC Indonesia.

Saat kejadian pada Sabtu 12 Oktiber 2002 malam, Aris ayah Garil sedang menunggu tamu di depan Sari Club diskotek yang penuh dengan tamu asing.

Ia diduga tidur pulas setelah minum obat sebelum menunggu tamu.

Aris ditemukan sehari setelah bom seberat 1,1 ton meledak. Jenazahnya hangus terbakar dan nyaris tak dikenali.

"Wajah itu bukan bapak saya, sudah benar-benar hangus, persis seperti ayam bakar," cerita Garil.

Saat serangan teroris terparah di Indonesia itu terjadi, Garil berusia 10 tahun. Sementara adik kedua dan ketiganya masing-masing berumur lima tahun dan dua tahun,

Sementara sang ibu Endang Isnanik sedang sakit. Saat jenazah suaminya datang, ia hanya melihat dari kejauhan.

"Ada mobil kecil datang, ternyata keluar tandu. (Saya lihat dari jauh), Posisi suami saya kakinya begini (melipat kaki) keluarga pegang saya dan saya gak boleh lihat lagi. Yang lihat anak saya," cerita Endang.

"Saya hanya lihat posisinya lagi tidur di depan stir mobil. Seperti yang dia cerita pada malam saat berangkat dia mau minum obat sambil menunggu tamu, mungkin tertidur pulas waktu kejadian," tambahnya.

"Mayat didatangkan karena kondisi yang lengket, tak bisa dimandikan, hanya bisa ditayamun. Disalatkan di masjid, dikuburkan hari itu juga," kata Endang lagi.

Setelah sang kepala kelurga meninggal, Garil, ibu, dan adik-adiknya melewati masa berat.

"Setiap berjalan ke sekolah, kelas di lantai atas, dan biasanya ada bapak sama mama datang," cerita Garil.

"Saya kalau ingat di sekolah, dibandingkan adik-adik, saya yang paling ingat bapak, anak pertama yang paling disayang."

"Kaya udah tak ada tujuan hidup, bingung tak tahu gimana. Sampai SMA pun, masih gak karuan. Melihat kondisi mama, saya seperti orang depresi."

Kala itu korban meninggal mencapai 202 orang dan ratusan orang lainnya luka-luka.

Bom Bali 1 diotaki Ali Imron, Amrozi, dan Ali Gufron alias Muklas serta Imam Samudra yang telah dieksekusi pada 2008 lalu.

Garil dan ibunya kemudian bertemu dengan terpidana terorisme Bom Bali 1, Ali Imron di salah satu ruangan di Polda Metro Jaya.

Pertemuan itu dilakukan beberapa hari setelah peringatan ke-17 Bom Bali 1. Kepada Ali Imron, Garil menyampaikan perasaan dan pertanyaan yang ia pendam selama ini.

"Saya masih kecil, saya melihat bapak kandung saya dalam keadaan seperti itu…Hati saya hancur ketika itu. Tulang punggung keluarga saya, membesarkan saya, Bapak bisa bayangkan kalau Bapak jadi saya, dengan keadaan ibu tak bisa jalan, tak ada kerjaan. Adik masih bayi. Saya masih bocah."

"Kami tak punya tempat tinggal, bingung tinggal di mana, sampai saat ini, kami tak punya rumah, tinggal di sana sini, sekarang tinggal di kos-kosan … jujur dulu saya sangat kesal, dalam jiwa saya marah. Saya ingin semua tersangka dihukum mati, tak ada kecuali."

"Yang saya tak habis pikir, atas dasar apa pelaku ini melakukan seperti ini, yang katanya Islam, Islam mana yang membunuh saudaranya sendiri."

Ali Imron tertunduk mendengar pertanyaan dan pernyataan ini.

"Saya sedih ada pembunuh yang bilang dia Islam," jelas Garil lagi.

SUMBER: BBC Indonesia

https://regional.kompas.com/read/2020/02/18/17070081/cerita-garin-anak-korban-bom-bali-i-lihat-jenazah-ayahnya-hangus-dan-memilih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke