Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geruduk Kantor DPRD Sumut, Ratusan Warga Tolak Pemusnahan Babi

Kompas.com - 10/02/2020, 15:09 WIB
Dewantoro,
Dony Aprian

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Ratusan warga yang tergabung dalam gerakan aksi damai tolak pemusnahan babi berunjuk rasa di gedung DPRD Sumut, Senin (10/2/2020).

Dalam aksinya tersebut, mereka menolak pemusnahan babi di Sumatera Utara karena merebaknya virus hog cholera dan african swine fever (ASF).

"Kami datang karena katanya ada kebijakan untuk memusnahkan babi, itu yang kami tolak," kata A Manulang, salah satu warga yang melakukan aksi tersebut.

Baca juga: Gubernur Edy Minta Waktu 1 Bulan Putuskan Pemusnahan Ternak Babi di Sumut

Selain itu, warga Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, itu mengaku, setiap bagian tubuh babi memiliki arti penting dalam ritual adat dan tidak bisa digantikan dengan hewan ternak lainnya.

"Bukan hanya karena miskin kemudian menggunakan babi, tapi orang kaya pun, walaupun sudah pakai lembu atau kerbau, dia tetap butuh babi. Jadi begitulah pentingnya," katanya.

Dia mengatakan, sejak upacara kelahiran anak, menjelang dewasa, hingga meninggal dunia, babi selalu digunakan dalam upacara adat.

"Ibaratnya, kalau tidak menggunakan babi, mau digantikan dengan apa. Kemarin katanya akan ada penggantian, babi jadi lele, tapi kan tak bisa dipakai untuk adat," katanya.

Baca juga: Babi di Sumut Mati karena Virus ASF, Edy Rahmayadi Merasa Dilema Lakukan Pemusnahan

Manulang mengatakan, sejak 2006, dirinya sudah memelihara babi mulai dari dua ekor hingga 20 ekor untuk menghidupi keluarganya.

"Babi ini adalah penghidupan saya. Tidak bisa lagi kerja di pabrik. Hanya ternak ini sajalah, tapi itu pun sudah tidak ada lagi. Tak ada babi, memang perekonomian terpengaruh kalilah," katanya.

Sementara itu, Ketua Aksi Gerakan Save Babi Boasa Simanjuntak berharap pemerintah mencari jalan lain untuk mengantisipasi wabah penyakit demam babi afrika (African swine fever) di Sumut.

"Kami menantang keras pemusnahan babi karena kalau babi dimusnahkan berarti sudah menghilangkan budaya Batak. Karena sejak lahir sampai mati babi jadi budaya di tanah Batak," ucapnya.

Sebelumnya diberitakan, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi meminta waktu satu bulan untuk memikirkan kondisi ternak babi di wilayahnya, apakah akan dimusnahkan atau tidak.

Pasalnya, menurut keputusan Kementerian Pertanian, telah terjadi wabah penyakit demam babi afrika (African swine fever) pada beberapa kabupaten atau kota di Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten atau kota itu yakni di Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.

"Memang terjangkit ASF dan selayaknya itu dimusnahkan. Sekarang sudah 42.000 sekian (babi mati di Sumut). Saya lihat satu bulan ini," katanya kepada wartawan susai shalat ashar di Masjid Agung, Medan.

Edy Rahmayadi merasa dilema dalam penanganan babi di Sumut pasca-keluarnya pernyataan tentang ASF dari Kementerian Pertanian (Kementan).

"Ada dilema di situ. Kalau saya iyakan untuk persoalan menjadikan bencana, berarti semua babi harus dimusnahkan," katanya kepada wartawan usai shalat ashar di Masjid Agung, Medan, Senin (6/1/2020).

Dia menjelaskan, risiko jika babi dimusnahkan, akan seperti yang terjadi di China yang selama 20 tahun berikutnya belum diizinkan untuk memelihara babi sampai dinyatakan tempat itu steril.

"Mampukah itu? Saya masih mencari peluang yang lain," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com