Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daging Kelelawar Tetap Jadi Primadona di Pasar Manado

Kompas.com - 29/01/2020, 07:00 WIB
Khairina

Editor

KOMPAS.com-Lingkan Gunde, warga Mapanget, Manado penyuka daging kelelawar.

Lingkan memiliki teknik memasak sendiri untuk mendapatkan rasa yang ia sukai.

Teknik masaknya bertahap, lebih dulu daging kelelawar direbus. Kemudian, ia menyiapkan bumbu-bumbu untuk digunakan seperti santan, cabai, bawang merah, bawang putih, daung kemangi, batang serai, jahe, dan kunyit.

"Setelah itu diolah. Lebih dulu ditumis bumbunya, kemudian dimasukkan daging kelelawar. Lalu, santan ditaruh. Proses masaknya cukup lama, sekitar dua jam sampai santan kering. Yang paling saya suka, sayapnya," kata Lingkan.

Baca juga: Virus Corona Merebak, Warga Tetap Gemar Makan Olahan Daging Kelelawar

Feibe Tampanguma, warga Karombasan, Manado juga mengakui, ia dan keluarganya suka makan kelelawar.

"Tapi, tidak rutin. Dalam sebulan itu hanya satu atau dua kali saya buatkan masakan daging kelelawar buat keluarga," kata Feibe saat diwawancarai sementara membeli daging kelelawar di Pasar Pinasungkulan Manado, Selasa (28/1/2020).

Adanya kabar virus corona yang diduga salah satunya berasal dari kelelawar, Feiby mengaku, ia tidak kuatir.

"Kalau sudah dibersihkan dan dimasak dengan benar, sudah tidak masalah," ujar Feibe.

Menurut dia, masakan daging kelelawar bisa dibuat bervariasi.

"Kalau saya paling banyak dibuat santan kering," kata Feibe yang juga suka makan olahan tikus hutan dan ular.

Baca juga: Tak Terpengaruh Kabar Corona Disebarkan Kelelawar, Dagingnya Masih Laku di Manado

Pasar Pinasungkulan Karombasan, Kota Manado, Sulawesi Utara, ramai seperti biasa. Sejak pagi hari, hiruk pikuk sudah terdengar.

Para pedagang tampak sibuk. Ada yang menjajakan dagangannya, ada pula yang sedang tawar menawar dengan pelanggannya.

Pasar ini menjadi pilihan penyuka kuliner ekstrem, seperti daging ular, babi hutan, anjing, bahkan kelelawar.

Merebaknya virus corona nyatanya tak terlalu mempengaruhi peminat kuliner ekstrem di Manado.

Joly Adrian, pedagang kelelawar di Pasar Pinasungkulan Karombasan, merasakan memang ada penurunan permintaan setelah virus corona menyebar namun tidak signifikan.

"Tidak dirasakan banyak," kata Joly saat ditemui KOMPAS.com, Selasa (28/1/2020).

Joly juga tidak khawatir dengan isu daging kelelawar jadi penyebab timbulnya virus corona akan mengurangi omsetnya. Pasalnya, dia sudah punya pelanggan tetap.

Setiap hari ada enam pengusaha katering yang membeli daging kelelawar dari Joly. Kadang malah ada orang yang datang ke lapaknya untuk memborong semua dagangannya.

"Senin (27/1/2020) kemarin, ada yang borong jualan saya Rp 3 juta," kata Joly yang menjual seekor kelelawar dengan harga Rp 35.000.

Joly pun yakin dagangannya tidak akan jadi sumber penyakit karena hewan itu sudah dibakar sebelum dijual.

Kelelawar dituding sebagai hewan pembawa virus corona karena penyakit ini pertama kali ditemukan di Pasar Hubei yang menjual daging mamalia terbang itu.

Dalam kasus SARS, kelelawar menjadi inang.

Mereka menginfeksi hewan lain melalui kotoran atau saliva dan perantara pun tanpa disadari menularkan virus tersebut kepada manusia.

Dalam 45 tahun terakhir, setidaknya ada tiga pandemi lainnya (selain SARS) yang ditelusuri penyebabnya dari kelelawar.

Hewan-hewan tersebut juga merupakan sumber asli dari penyakit Ebola yang telah menewaskan 13.500 orang pada tahun 1976.

Selain itu, juga sindrom pernapasan Timur Tengah yang lebih dikenal dengan MERS. Virus ini ditemukan di 28 negara.

Kemudian, juga virus Nipah, yang memiliki tingkat kematian sebesar 78 persen.

 

(Kontributor Manado, Skivo Marcelino Mandey | Editor Teuku Muhammad Valdy Arief)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com