Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta Upacara Piodalan di Bantul "Dibubarkan" Warga: Umat Hindu Butuh Rumah Ibadah

Kompas.com - 15/11/2019, 06:36 WIB
Rachmawati

Editor

Sementara pada 2019 ada tiga insiden serupa, di antaranya pemotongan nisan salib, pembubaran tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru Kecamatan Sanden, dan penolakan penduduk non-Muslim terhadap yang berbeda agama di desa mereka, Dusun Karet.

Agar tidak terus terulang, Abdul Halim hanya bisa melakukan sosialisasi tentang hidup rukun.

"Bahwa semua punya hak yang sama, kalaupun ada kasus yang muncul, namanya banyak orang... Tapi pemerintah melakukan edukasi terus menerus."

Ia juga menyarankan kepada umat Hindu di Bantul yang ingin mendirikan rumah ibadah agar mengajukan.

"Ya silakan ajukan, mau bangun di mana."

Baca juga: Setelah Diskriminasi terhadap Slamet di Bantul, Gubernur DIY Keluarkan Instruksi


'Pemda jangan sekadar memberikan imbauan'

Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sunyoto Usman, mengatakan Kabupaten Bantul dihuni oleh masyarakat yang heterogen, mulai dari penganut Kejawen, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Islam abangan.

"Jadi memang Bantul banyak ragam keyakinan, banyak simbol-simbol keagamaan, banyak ritual yang selama ini saya tidak melihat ada upaya bagaimana menjaga keseimbangan itu," ujar Sunyoto Usman kepada BBC Indonesia.

Imbasnya masyarakat menjadi lebih sensitif ketika ada kegiatan atau upacara yang dianggap berbeda.

Maka kasus yang menimpa Utiek Suprapti, kata Sunyoto, tak asing lagi. Sebab warga yang heterogen cenderung terganggu jika ada acara yang tampak tak lazim. Apalagi diselenggarakan di ruang privat.

Baca juga: Semoga Tak Ada Lagi Diskriminasi terhadap Pemeluk Keyakinan Apa Pun...

"Kalau upacara ritual dilakukan di rumah bisa dianggap mengganggu, karena itu ranah privat, bukan publik. Kalau di rumah ibadah tak masalah, tapi ini kan di ruang keluarga. Mungkin saja keluarga lain merasa tergganggu dan dianggap enggak jelas."

Sayangnya, pemerintah daerah tak berperan kuat dalam menjaga harmoni di masyarakat yang beragam seperti itu. Itu sebabnya ia menyarankan pemda tak sekadar memberi imbauan atau sosialsiasi tentang hidup rukun.

Yang dibutuhkan, lanjutnya, adalah tindakan yang bisa menjaga relasi antarwarga, di antaranya dengan menggelar kegiatan kesenian atau musik.

Baca juga: Ada Diskriminasi Terhadap Siswi Non Muslim di Banyuwangi, Bupati Anas Marah

"Kalau tradisi Jawa ada bersih desa. Itu kan seperti selamatan supaya desa aman. Kemudian ada nanggap wayang kulit. Nah yang terlibat beragam nanti. Jadi mediumnya yang tidak melukai identitas agama atau keyakinan itu.

"Lalu tokoh-tokoh agama turun gunung memberikan penjelasan supaya identitas itu tidak terganggu."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com