KOMPAS.com - Pemerintah daerah didesak untuk tak sekadar memberikan imbauan jika terjadi kasus intoleransi umat beragama, menyusul insiden penghentian kegiatan persembahyangan umat Hindu (piodalan) di Kabupaten Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta, oleh sekelompok orang yang diklaim sebagai warga desa setempat.
Desakan itu antara lain disampaikan oleh seorang sosiolog dari Universitas Gajah Mada dan seorang pemuka agama Hindu. Namun demikian, wakil bupati Bantul meminta masalah tersebut tidak dibesar-besarkan.
Made Astra menyesalkan betul tindakan penghentian upacara doa yang digelar salah satu anggotanya di Dusun Mangir Lor, Desa Sedangsari, Bantul, pada Selasa (12/11/2019). Ketua Parisada Hindu Dharma (PHDI) di Provinsi Yogyakarta itu bercerita, tak ada yang patut dicurigai dari kegiatan itu.
Baca juga: Upacara Piodalan di Bantul Dibubarkan Warga, Ini Duduk Perkaranya
Keluarga Utiek Suprapti - yang menjadi tuan rumah acara, kata dia, hanya melaksanakan ritual peninggalan leluhur keluarganya.
"Ritual itu adalah persembahyangan keluarga sesuai dengan apa yang ditinggalkan leluhurnya. Misalnya pada Jumat Pahing saya harus mengadakan persembahyangan keluarga. Jadi kegiatan itu diteruskan oleh keturunannya," ujar Made Astra kepada BBC News Indonesia, Rabu (13/11).
Ritual sembahyang itu dilakukan dengan cara berdoa yang ditujukan kepada nenek moyang selama sekitar 1-1,5 jam. Bagi umat agama Hindu, ritual tersebut tidaklah tabu.
"Sangat-sangat mendukung karena tujuannya bersembahyang untuk leluhurnya. Alangkah mulianya kan mendoakan leluhur? Sangat mulia."
Baca juga: Upacara Piodalan di Bantul yang Dibubarkan Warga, Pemangku: Ini Acara Intern Keluarga
Saat dimulai, kata Ananda Ranu Kumbulo, tidak ada masalah. Tapi di tengah kegiatan, warga berdatangan dan mencegat umat Hindu lain masuk ke rumahnya.
"Ketika ada umat Hindu mau masuk, kendaraan dicegat dan disuruh pulang," kata Ananda.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Kapolsek Pajangan datang dan menyampaikan keluhan warga atas upacara doa dan minta dihentikan. Utiek pun akhirnya memenuhi desakan warga dan polisi.
Baca juga: Acara Piodalan Dibubarkan Warga, Pemangku Sebut 9 Tahun Urus Izin
Padahal kata Nanda, pihaknya sudah memberitahu ke warga, pengurus RT dan kepolisian, namun Kepala Dusun tak membolehkan kegiatan itu.
"Alasannya ingin mengayomi masyarakat karena banyak warga yang tidak setuju," imbuh Nanda.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bantul, Yasmuri, mengaku sudah bertemu dengan pihak yang menolak serta Utiek Suprapti sendiri. Warga, katanya, melihat keanehan dalam upacara doa itu, sebab dilakukan di rumah dan mengundang banyak orang.
Baca juga: 5 Fakta Kasus Intoleransi di Bantul, Isi Instruksi Gubernur DIY hingga Tetangga di Sini Baik Semua
"Informasi lurah, masyarakat cuma pingin kejelasan mereka itu apa yang dilakukan? Upacara itu apa? Keagamaan atau kegiatan lain?" ujar Yasmuri.
Warga, klaimnya, sempat mengambil kesimpulan mereka melakukan kegiatan ritual "yang tidak jelas". Karena itulah, timbul kecurigaan apa yang dilakoni Utiek dan puluhan orang tersebut adalah sesat.
"Kalau itu [doa] masuk aliran yang tidak jelas, dikhawatirkan misalnya ada aliran yang sesat."
Baca juga: Ini Wacana Bupati Bantul Cegah Kasus Intoleransi Kembali Terulang di Wilayahnya
Padahal semestinya segala kegiatan peribadatan termasuk doa kepada leluhur seperti yang dilakukan Utiek Suprapti, dilakukan di pura.
"Sebaiknya itu di pura supaya sesuai dengan peruntukkannya," kata Made Astra.
Akan tetapi jumlah umat Hindu di Bantul tak mencukupi syarat mendirikan rumah ibadah.
Dalam catatan PHDI, di Kabupaten Bantul setidaknya ada 150 penganut Hindu. Tapi di tiap desa, jumlahnya tidak sampai sepuluh orang, sementara Peraturan Bersama Menteri mensyaratkan pendirian rumah ibadah minimal didukung 90 penganut sesuai tingkat batas wilayah.
"Ya tentu jadi sulit. Karena itu ingin mendirikan rumah ibadah karena kebutuhan umatnya. Sekarang terbentur dengan jumlah umat yang tidak memenuhi persyaratan di undang-undang."
Karena itu, menurutnya, permasalahan ini bisa selesai jika umat Hindu diberi kemudahan mendirikan rumah ibadah. Dengan begitu, tak lagi berdoa di rumah dan menimbulkan kecurigaan.
"Kalau sudah ada pura, tidak perlu memberitahu dan meminta izin. Solusinya harus ada rumah ibadah.
"Kalau kita sembahyang minta izin atau beritahu, kan repot. Sehari harus berapa kali?"
Baca juga: Cabut Izin Mendirikan Gereja, Bupati Bantul Digugat
"Kalau kampung digunakan dan tiba-tiba ada acara begitu warga tidak mengerti kan. Jadi soal komunikasi saja, jangan dibesar-besarkan, seolah-olah kasus intoleransi," kata Abdul Halim kepada BBC News Indonesia, Rabu (13/11/2019).
Kendati demikian catatan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) DIY menemukan, kasus intoleransi kebebasan beragama lebih sering terjadi di Bantul dibanding dengan kabupaten lainnya di Provinsi D.I. Yogyakarta.
Baca juga: Siswa SMK di Bantul Ciptakan Inovasi Alat Deteksi Dini Longsor
Lembaga itu menyebut sepanjang tahun 2016-2018 terjadi delapan kasus intoleransi.
Sementara pada 2019 ada tiga insiden serupa, di antaranya pemotongan nisan salib, pembubaran tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru Kecamatan Sanden, dan penolakan penduduk non-Muslim terhadap yang berbeda agama di desa mereka, Dusun Karet.
Agar tidak terus terulang, Abdul Halim hanya bisa melakukan sosialisasi tentang hidup rukun.
"Bahwa semua punya hak yang sama, kalaupun ada kasus yang muncul, namanya banyak orang... Tapi pemerintah melakukan edukasi terus menerus."
Ia juga menyarankan kepada umat Hindu di Bantul yang ingin mendirikan rumah ibadah agar mengajukan.
"Ya silakan ajukan, mau bangun di mana."
Baca juga: Setelah Diskriminasi terhadap Slamet di Bantul, Gubernur DIY Keluarkan Instruksi
"Jadi memang Bantul banyak ragam keyakinan, banyak simbol-simbol keagamaan, banyak ritual yang selama ini saya tidak melihat ada upaya bagaimana menjaga keseimbangan itu," ujar Sunyoto Usman kepada BBC Indonesia.
Imbasnya masyarakat menjadi lebih sensitif ketika ada kegiatan atau upacara yang dianggap berbeda.
Maka kasus yang menimpa Utiek Suprapti, kata Sunyoto, tak asing lagi. Sebab warga yang heterogen cenderung terganggu jika ada acara yang tampak tak lazim. Apalagi diselenggarakan di ruang privat.
Baca juga: Semoga Tak Ada Lagi Diskriminasi terhadap Pemeluk Keyakinan Apa Pun...
"Kalau upacara ritual dilakukan di rumah bisa dianggap mengganggu, karena itu ranah privat, bukan publik. Kalau di rumah ibadah tak masalah, tapi ini kan di ruang keluarga. Mungkin saja keluarga lain merasa tergganggu dan dianggap enggak jelas."
Sayangnya, pemerintah daerah tak berperan kuat dalam menjaga harmoni di masyarakat yang beragam seperti itu. Itu sebabnya ia menyarankan pemda tak sekadar memberi imbauan atau sosialsiasi tentang hidup rukun.
Yang dibutuhkan, lanjutnya, adalah tindakan yang bisa menjaga relasi antarwarga, di antaranya dengan menggelar kegiatan kesenian atau musik.
Baca juga: Ada Diskriminasi Terhadap Siswi Non Muslim di Banyuwangi, Bupati Anas Marah
"Kalau tradisi Jawa ada bersih desa. Itu kan seperti selamatan supaya desa aman. Kemudian ada nanggap wayang kulit. Nah yang terlibat beragam nanti. Jadi mediumnya yang tidak melukai identitas agama atau keyakinan itu.
"Lalu tokoh-tokoh agama turun gunung memberikan penjelasan supaya identitas itu tidak terganggu."
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.