Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Tomat, Bentuk Protes Para Petani, Kini Berubah Jadi Atraksi yang Dinanti

Kompas.com - 14/10/2019, 09:40 WIB
Agie Permadi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com -  Anjloknya harga tomat di pasaran beberapa tahun lalu sempat membuat petani tomat menjerit. 

Padahal, saat itu petani tengah menikmati hasil panen yang melimpah.

Di balik melimpahnya hasil panen saat itu bukan memberikan keuntungan materi para petani, tapi malah sebaliknya.

Hasil panen tidak dapat dinikmati, malah cenderung dibiarkan membusuk dan berserakan jatuh di tanah.

Ini merupakan salah satu bentuk protes petani.

Baca juga: Kisah Anwar, Merintis Usaha Gula Semut Sejak SMA, Kini Miliki Omzet Ratusan Juta Per Bulan

Namun, siapa sangka cara protes ini mampu dijadikan sebuah atraksi yang menarik. Mulai muncul ide untuk menggelar perang tomat.

Di Jawa Barat, tepatnya di Kampung Cikareumbi RW 03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, kondisi itu menjadi ide bagaimana para petani meluapkan kekecewaan, mengekspresikannya dengan pendekatan seni-budaya yakni menggelar perang tomat.

Harapan agar dapat mengenalkan potensi seni-budaya, alam, dan hasil pertanian warga sekitar. Kegiatan ini pun dilakukan sampai saat ini.

Sejak Minggu (13/10/2019) pagi, warga Kampung Cikareumbi tampak ramai berkerumun dan menyisakan jalanan yang sengaja dikosongkan sebagai arena peperangan.

Arena peperangan itu dibatasi sawen (daun kawung) dan bebetek (jajanan khas kampung) yang menggantung berjajar sepanjang jalan.

Sebelum masuk ke acara inti, rangkaian kegiatan berupa parade arak-arakan hasil bumi menarik perhatian warga.

Sejumlah sayuran dan buah-buahan yang telah ditata semenarik mungkin di arak bersamaan dengan tabuhan kendang yang menggema mengiringi.

Tembang karawitan mulai mengalun keras, sebagai penanda perang tomat akan berlangsung.

Warga di sekitar kemudian mulai mencabut bebetek yang menggantung di sepanjang jalan. 

Sebelum mulai, gadis Kampung Cikareumbi yang telah berdandan cantik kemudian memasuki arena, melaksanakan upacara Ngajayak Topeng (membawa topeng).

Mereka menari sambil membawa nampan anyaman bambu yang di atasnya terdapat helm atau pelindung kepala yang juga terbuat anyaman bambu.

Para pria berbaju pangsi yang sudah dilengkapi dengan pelidung tubuh, tameng dan pelindung kepala dari anyaman bambu kemudian berbaris berlawanan.

Bak gladiator mereka bersiap melakukan tarian kecil perang tomat dari jarak dekat.

Selang beberapa menit kemudian, tembang karawitan semakin kecang, saat itulah perang tomat pun pecah.

Ribuan tomat busuk berterbangan menghujani tak hanya para gladiator itu, tapi juga warga dan masyarakat sekitar pun dilibatkan dalam gelaran rutin tahunan ini.

Warga yang antusias, tampak bergembira saat ikut peperangan ini. Tua muda tumplek saling lempar dua ton tomat busuk yang telah disediakan.

Warga Kampung Cikareumbi RW03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat tengah melakukan perang tomat sebagai upaya peningkatan wisata budaya kreatif dan ekonomi hasil pertanian, Minggu (13/10/2019). Melempar tomat busuk memiliki filosofi membuang sifat buruk.KOMPAS.COM/AGIE PERMADI Warga Kampung Cikareumbi RW03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat tengah melakukan perang tomat sebagai upaya peningkatan wisata budaya kreatif dan ekonomi hasil pertanian, Minggu (13/10/2019). Melempar tomat busuk memiliki filosofi membuang sifat buruk.
Sesepuh masyarakat Kampung Cikareumbi, Abah Nanu Muda mengatakan, kegiatan ini berkaitan dengan pertumbuhan perkembangan budaya saing dalam perekonomian.

Ia berharap dengan adanya perang tomat ini dapat meningkatkan seni-budaya dan nilai ekonomi hasil pertanian di daerah Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang.

"Pemerintah harus memberikan perhatian terhadap petani tomat saat ini, harganya jatuh. Mengapa mereka mengatakan perang tomat aneh? Dari penderitaan harga yang jatuh itulah mereka bangkit dan ingin meningkatkan perekonomiannya dengan kegiatan tradisi budaya supaya terdengar oleh pemerintah pusat bahwa petani layak dihargai," ujar Bah Nanu.

Baca juga: Kisah Desa Menari di Lereng Telomoyo

Dijelaskan, tujuan rempug tarung adu tomat atau perang tomat ini sebagai ungkapan membuang sial segala macam hal buruk atau sifat tak baik dalam masyarakat ataupun dengan tanaman.

"Dalam artian rempug tarung adu tomat tersebut adalah miceun rereged, geuleuh keukeumeuh', menyucikan diri," kata dia.

Setelah perang selesai, tomat yang berserakan di jalan kemudian dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan kompos pupuk tanaman tomat dan sayuran lainnya.

Warga Kampung Cikareumbi RW03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat tengah melakukan perang tomat sebagai upaya peningkatan wisata budaya kreatif dan ekonomi hasil pertanian, Minggu (13/10/2019). Melempar tomat busuk memiliki filosofi membuang sifat buruk.KOMPAS.COM/AGIE PERMADI Warga Kampung Cikareumbi RW03 Desa Cikidang Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat tengah melakukan perang tomat sebagai upaya peningkatan wisata budaya kreatif dan ekonomi hasil pertanian, Minggu (13/10/2019). Melempar tomat busuk memiliki filosofi membuang sifat buruk.
Jadi, tomat yang busuk bukan sekedar untuk amunisi perang, tapi multifungsi.

Sementara itu, seorang warga, Gina, mengaku suka dengan gelaran tahun perang tomat tersebut karena menjadi salah satu hiburan bagi warga sekitar.

"Seru saja, asyik buat nonton kalau warga mah," ujar dia.

Baca juga: Kisah Penyandang Disabilitas Berbagi Kaki Palsu Gratis, Dibuat dari Besi Rambu Lalu Lintas

Meski telah beberapa kali digelar, Gina mengaku belum pernah ikut turun untuk peran, karena ia lebih suka menikmati perang tersebut dengan menontonnya. Saat perang tomat terjadi, Gina berlindung dibalik terpal plastik bening yang menutupi rumah warga disekitarnya.

"Gak ah, gak ikut, nonton saja saya mah," kata Gina.

Di sisi lain, sejumlah warga pun memanfaatkan keramaian tersebut untuk berdagang di sepanjang jalan masuk menuju arena.

Sebagian lagi menimba hasil dari parkir kendaraan warga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com