Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musim Kemarau yang Panas dan Kering Jadi Berkah Perajin Gerabah Kulon Progo

Kompas.com - 09/09/2019, 12:04 WIB
Dani Julius Zebua,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com — Panas musim kemarau yang berkepanjangan membuat kekeringan di beberapa wilayah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata air mati, sungai tidak mengalir. Warga di beberapa dusun mengeluh dan terpaksa minta bantuan air bersih.

Cuaca panas memang menyulitkan banyak warga. Kondisi serupa tidak berlaku bagi perajin gerabah di Dusun Senik, Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Semakin menyengat malah membuat gerabah yang masih berupa tanah liat basah itu menjadi cepat kering setelah dijemur.

Perajin pun bisa semakin banyak menghasilkan gerabah, menjualnya di pasar-pasar tradisional, dan untung pun mengalir deras.

“Musim panas membuat pekerjaan lebih cepat. Pengaron ini setengah jam saja selesai, tapi kalau benar kering harus dijemur satu minggu,” kata Sarni, 46 tahun, salah satu perajin gerabah di rumahnya di Dusun Senik, Sabtu (7/9/2019).

Baca juga: 5 Fakta Mbah Sarmi, Pembuat Gerabah sejak Zaman Penjajahan Belanda

Sarni lebih banyak menghasilkan pengaron yang berukuran sepelukan orang dewasa. Bentuknya yang seperti bejana membuat kebanyakan warga memakai pengaron untuk menampung air.

Sarni berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Ia memperoleh keterampilan itu dari ibu mertuanya. Peralatan dan bahannya sederhana, dari meja putar, tanah liat basah, air, dan lap.

Baru setengah hari, ia sudah menyelesaikan 8 pengaron tanah liat basah. Semuanya masih harus dijemur di bawah terik matahari.

Para perajin gerabah tradisional seperti ini bekerja dengan mengandalkan cuaca. Sarni menceritakan, cuaca panas di musim kemarau ini membuat gerabah kering maksimal sebelum masuk ke pembakaran. Ia memasukkan ke pembakaran 1-2 minggu sekali.

Baca juga: Cerita Perempuan Perajin Gerabah di Bireuen yang Jadi Andalan Keluarga

Berduka di musim hujan

Perajin gerabah asal Dusun Senik, Sarni, tengah menyelesaikan keren dan pengaron. Setengah hari bekerja, ia sudah menyelesaikan belasan keren dan pengarong basah dan siap dijemur. Perajin seperti Sarni mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gerabah sebelum dimasukkan dalam pembakaran. Cuaca musim panas tentu sangat membantu.KOMPAS.com/DANI JULIUS Perajin gerabah asal Dusun Senik, Sarni, tengah menyelesaikan keren dan pengaron. Setengah hari bekerja, ia sudah menyelesaikan belasan keren dan pengarong basah dan siap dijemur. Perajin seperti Sarni mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gerabah sebelum dimasukkan dalam pembakaran. Cuaca musim panas tentu sangat membantu.
Sarni tidak bisa membayangkan kalau membuat gerabah dilakukan pada musim hujan. Perajin berduka karena bisa saja tidak menghasilkan apa pun.

Pekerjaan jadi semakin banyak pada masa musim hujan. Gerabah tanah liat belum tentu mengering benar sampai 1 bulan. Itu terasa sangat lama.

Pembakaran gerabah juga jadi soal. Perajin biasa membakar gerabah dengan bahan bakar kayu bakar. Karena hujan, mereka harus lebih dulu menjemur kayu bakar sampai kering benar.

“Kalau musim hujan malah bisa tidak kerja,” katanya.

Baca juga: Upaya Cirebon Membangun Desa Wisata Gerabah ala Kasongan

Dalam satu kali membakar, Sarni bisa menghasilkan 100 gerabah beragam jenis. Hasil dari gerabah dirasa lumayan. Dalam satu kali pembakaran, ia mengatakan, pabrik pembakarannya bisa menghasilkan gerabah senilai Rp 800.000-Rp 900.000.

Bayangkan nilainya yang berlipat ganda dari awal hanya tanah lempung sebanyak 1 kendaraan pikap seharga Rp 250.000.

Susah nek rendeng niku. Nek ketigo niki lumayan setitik,” kata Sarni untuk menyatakan bagaimana susahnya pada musim hujan, tapi ketika kemarau justru lebih banyak rezeki.

Cerita desa gerabah saat gempa Jogja 2006

Dusun Senik sudah sangat lama menjadi daerah penghasil gerabah. Mantan perajin gerabah, Cipto Wiyono, 80 tahun, menceritakan perajin gerabah sudah ada bahkan jauh sebelum Jepang menjajah Indonesia. Ketika itu, orangtuanya sudah membuat gerabah beragam jenis.

Cipto sudah tidak menghitung sebagai keturunan yang ke berapa sebagai perajin gerabah. Hampir setiap rumah membuat gerabah ketika itu.

Gempa Yogyakarta pada 2006 mengubah segalanya. Gerabah bikinannya hancur.

Cipto pun memutuskan beralih dari perajin menjadi pengepul gerabah. Ia kumpulkan gerabah dari perajin-perajin yang ada di dusun lantas menjualnya ke pasar.

Baca juga: 13 Tahun Terpisah karena Gempa Yogyakarta, Agustinus dan Juminten Akhirnya Bertemu...

“Dulu setiap rumah ada yang membuat gerabah. Sekarang ini masih ada lebih 20 perajin gerabah di Senik dan sekitarnya. Pengepulnya ada 4,” katanya. 

Bukan hanya Cipto yang berubah karena gempa. Pembangunan besar-besaran Yogyakarta pascagempa juga mendorong warga mengubah produk yang digarap. Cipto menceritakan, banyak yang beralih membuat batu bata merah.

“Karena sejak itu (gempa), pembangunan berlangsung besar-besaran,” kata Cipto di rumahnya.

Cipto memilih mengumpulkan gerabah para perajin lantas menjualnya ke pasar tradisional, seperti anglo yang berfungsi serupa kompor bahan bakar arang, pengaron untuk menampung air, dan kendil untuk tempat aruman atau ari-ari.

Baca juga: 13 Tahun Gempa Yogyakarta, Ini Fakta yang Perlu Diketahui

Lebih sering kendil digunakan untuk merebus jamu oleh masyarakat Jawa. Juga ada mandeng untuk tempat cucian. Bahkan, blengker sebagai pelengkap dari anglo. Ada juga ada celengan, teko, cangkir, hingga cowek atau cobek.

Cipto membawa sendiri ke pasar dengan onthel, tergantung pasaran Jawa. “Kadang diangkut pakai Colt (angkutan desa),” kata Cipto. 

Soal harga tentu berbeda sesuai ukuran besar kecil. Misal kendil Rp 10.000-Rp 15.000 per buah. Kemudian pengaron Rp 30.000-Rp 50.000 per buah. Keren Rp 15.000-Rp 22.000. Padasan Rp 30.000-Rp 40.000.

Pangsa pasar masih ada

Juminah, perajin gerabah asal Senik, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, mengandalkan hidup pada hasil dari membuat keren dan pengaron tanah liat. Musim panas membuat Juminah bisa membuat belasan pengaron dalam sehari. Hasilnya lumayan setelah jadi gerabah yang sudah matang.KOMPAS.com/DANI JULIUS Juminah, perajin gerabah asal Senik, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, mengandalkan hidup pada hasil dari membuat keren dan pengaron tanah liat. Musim panas membuat Juminah bisa membuat belasan pengaron dalam sehari. Hasilnya lumayan setelah jadi gerabah yang sudah matang.
Ia mengakui bahwa musim kemarau membuat wilayah sekitar dilanda kekeringan dan makin gersang. Namun, panas kemarau justru membuat ia bisa lebih banyak mengirimkan gerabah ke pasar.

Barang dagangan semakin banyak terserap pasar. Warga di pedesaan yang paling membutuhkan gerabah-gerabah itu. “Dicari orang-orang di desa-desa,” katanya.

Kebanyakan warga di desa masih menggunakan tungku gerabah dengan bahan bakar kayu. Gerabah pun tentu laris. “Jumlah memang semakin sedikit dari sebelum orang mengenal gas,” katanya.

Cipto meyakini gerabah masih akan memiliki pangsa pasar sendiri sekalipun terdesak kompor gas. Apa yang membuat gerabah masih dicari? Cipto menggambarkannya secara sederhana.

Katanya, selama orang masih makan sambal, gerabah tentu masih dicari dan dibeli. Ia pun tidak pernah putus asa. “Orang kan nyambel pakai cowek (cobek dari tanah liat),” kata Cipto dalam bahasa Jawa.

Baca juga: Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat Naik Kelas dan Raih Penghargaan UNESCO

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com