"Kalau memang ada yang, istilahnya orang sini, mak duta (melamar), tolong lihat umurnya dulu lah, apa sudah cukup umurnya?" ujar Ali.
Sementara itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga menangkap kekhawatiran Indotang yang berusaha menghentikan siklus perkawinan anak yang turun temurun di sana.
"Sudah ada surat edaran untuk melarang anak usia di bawah umur untuk menikah," ungkap Lukman Jurumiah, kepala desa Mattiro Uleng.
Kepala Desa Mattiro Uleng bersama BPD mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan: PERNIKAHAN ANAK USIA MUDA YAITU DI BAWAH UMUR 18 TAHUN, bunyi penggalan surat edaran tersebut.
"Pada intinya, imbauan untuk menyadarkan masyarakat bahwa usia anak itu mestinya duduk di sekolah, bukan untuk mengurus rumah tangga," jelas Lukman.
Selain itu, pemerintah desa Mattiro Uleng juga telah bekerja sama dengan sejumlah instansi lain untuk mencegah praktik tersebut.
"Saya sudah sepakat dengan mungkin dari KUA kecamatan bahwa kami tidak akan memberikan surat izin untuk menikah," tuturnya.
Baca juga: Kasus Pernikahan Sedarah, Kemenag: Hanya Ada 7 Penghulu di Balikpapan dan Tidak Pasang Tarif
Secara kasat mata, ranking itu jauh lebih baik ketimbang provinsi-provinsi tetangga, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara yang bertengger di posisi lima teratas.
Meski demikian, tren prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Selatan tak bisa disebut membaik.
Baca juga: Warga Boyolali Ini Gunakan Saham sebagai Mahar Pernikahan
Pasalnya, dari data tersebut, angka prevalensi dari tahun ke tahun masih tidak stabil dan justru meningkat cukup tajam pada tahun 2015.
Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, data pernikahan anak yang direkam pemerintah berasal dari jumlah laporan dispensasi kawin (pengajuan izin untuk menikahkan anak di bawah umur) di Pengadilan Agama Pangkajene.
Serupa dengan data BPS-UNICEF, selama lima tahun terakhir, jumlah laporan dispensasi kawin yang diterima pengadilan pun tidak stabil.
Menurut Amir Indara, panitera Pengadilan Agama Pangkajene, alasan pengajuan dispensasi oleh orang tua beragam.
"Pada prinsipnya, orang tua mau menikahkan anaknya karena sudah ada yang melamar. Alasannya, dari pada di luar tidak terkontrol, lebih baik dinikahkan," ungkap Amir.
Ia menjelaskan, bahwa sebelum menjalani sidang dispensasi kawin, sebenarnya para orang tua, termasuk anak-anak calon pengantin, diberi pemahaman tentang risiko yang mereka hadapi dengan menikah dini, termasuk risiko bercerai karena belum matangnya kondisi mental pengantin.
Orang tua dan pengantin anak juga disarankan untuk menunda pernikahan hingga memenuhi usia minimal untuk dapat menikah.
Sayangnya, menurut Amir, "cuma satu-dua orang yang seperti itu. Kebanyakan memang, istilahnya, suka sama suka yang paling dominan."
Terkait usia minimal seseorang untuk menikah sendiri, DPR masih memiliki pekerjaan rumah untuk menentukan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan hingga akhir tahun 2021.
Hal itu diamanatkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember lalu, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan.
Baca juga: Pernikahan Sedarah Asal Bulukumba, Sepupu Jadi Wali Nikah hingga Niat Kabur ke Australia
MK salah satunya memutuskan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.
Saat ini, usia minimal perempuan untuk dapat menikah adalah 16 tahun, sementara untuk laki-laki 19 tahun. MK menilai hal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang mengkategorikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.