Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantang Tolak Penikahan Usia Anak: Berikan Ijazah, Jangan Buku Nikah

Kompas.com - 25/07/2019, 06:32 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Pernikahan di bawah umur merenggut cita-cita dan nyawa anak pertama Darma, 15 tahun lalu. Pengalaman Darma itulah yang ingin dihindari Tuti, bukan nama sebenarnya, sehingga ia dengan lantang menolak dinikahkan orangtuanya kala ia masih tergolong anak-anak.

Di sisi lain, Ana, gadis 17 tahun yang identitas aslinya kami samarkan, baru saja melangsungkan pernikahan sebulan lalu gara-gara tidak tahan dengan gosip tetangga. Ia dituduh 'lari' dan bermalam dengan kekasihnya sampai membuat kedua pihak keluarga malu dan merasa perlu menikahkan Ana.

Cerita ketiganya adalah kisah-kisah dari penduduk desa di pulau-pulau kecil yang berada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, khususnya di Pulau Kulambing dan Pulau Bangko-Bangkoang.

Meski tidak terletak di provinsi dengan prevalensi pernikahan usia anak tertinggi di Indonesia, praktik tersebut lumrah dan secara turun temurun terjadi di sana.

Baca juga: Uang Rp 20 Juta yang Kena OTT KPK Kado Pernikahan Anak Pejabat Krakatau Steel

 

Menikah muda demi menghindari gosip tetangga

Ana dan Tio (keduanya bukan nama sebenarnya) menikah di kala Ana masih berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMK dok BBC Indonesia Ana dan Tio (keduanya bukan nama sebenarnya) menikah di kala Ana masih berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMK
26 Juni lalu adalah hari istimewa bagi Ana, bukan nama sebenarnya. Gadis yang saat itu masih duduk di kelas dua sekolah menengah kejuruan itu mengikat janji suci dengan pria yang dipacarinya, Tio, juga bukan nama sebenarnya.

Meski secara hukum telah memenuhi usia minimal untuk menikah bagi perempuan, Ana masih tergolong anak-anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, karena usianya baru 17 tahun. Sedangkan sang suami sudah hampir menginjak umurnya yang ke-21.

Keduanya masih tinggal seatap dengan orang tua Ana di Pulau Bangko-Bangkoang, Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, dalam sebuah rumah panggung sederhana tepat di tepi dermaga pulau.

Baca juga: Warga Boyolali Ini Gunakan Saham sebagai Mahar Pernikahan

Selagi tinggal di rumah mertua, Tio belum utuh menafkahi istrinya dari pekerjaan serabutan.

Saat BBC News Indonesia mengunjungi mereka pada Kamis (18/7/2019) lalu, Tio tengah mempersiapkan kapal kecil berwarna biru bersama bapak mertuanya di bibir pantai. "Mau belajar melaut, kak."

Tio yang tidak lulus SMP berasal dari 'daratan', istilah yang digunakan penduduk setempat untuk merujuk pada mereka yang tak berasal dari wilayah kepulauan.

"Kami ketemu di acara kawinan sepupunya," ujar Tio sambil sesekali tertawa mengisahkan awal mula pertemuannya dengan Ana. Ia mengaku berpacaran dengan gadis itu selama satu tahun lebih sebelum akhirnya melamar sang kekasih.

Meski demikian, kisah lamaran itu tidak seromantis kedengarannya.

Baca juga: Pasangan Ini Menikah di Atas Pohon, Sila Pancasila dan Durian Jadi Mas Kawin

Orang tua Ana lah yang menanyakan kepada orang tua Tio tentang keseriusan pemuda itu terhadap anak gadis mereka, setelah sebuah gosip beredar cepat di masyarakat.

"Ndak ada pe yang mau (menikah, sebenarnya)," tutur Ana berbahasa Bugis, "kan dulu ada gosip yang mengatakan saya lari sama Tio. Di situ keluarga jadi malu, padahal saya ke rumah teman, Tio yang membonceng."

Yang jelas, menurut Ana, gosip yang dianggapnya menjadi aib keluarga itu terlanjur tersebar ke warga di pulau-pulau lain.

"Saya yang mulai untuk membuka pembahasan tentang pernikahan," terang ibu dari Ana, Ita, bukan nama sebenarnya.

Menurut Ita, "sudah tidak ada jalannya lagi, karena orang-orang tidak berhenti bercerita dan menggosipkan anak saya, sampai dikira anak saya hamil. Itu yang saya takutkan."

Ita (nama disamarkan), Ibunda Ana, menginisiasi ide pernikahan sang anak dengan Tio dok BBC Indonesia Ita (nama disamarkan), Ibunda Ana, menginisiasi ide pernikahan sang anak dengan Tio

Ketakutan akan semakin liarnya gosip tentang Ana akhirnya memang terhindarkan. Selepas Ana menikah dengan Tio, kabar-kabar burung itu tak lagi berseliweran.

Akan tetapi, ketakutan akan risiko pernikahan usia anak baru hinggap di benak mereka kemudian. Baik Ita, Ana, maupun Tio, mengaku belum pernah mendengar berbagai risiko menikah dini sebelumnya.

Menurut UNICEF, pernikahan anak merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak anak, khususnya anak perempuan. Praktik tersebut dapat membatasi akses pendidikan, memengaruhi kesehatan, penghasilan, keamanan, hingga kemampuan anak di masa depan.

Ana untuk sementara membantu orang tuanya mengurus rumah dan merawat suaminya dok BBC Indonesia Ana untuk sementara membantu orang tuanya mengurus rumah dan merawat suaminya

Ana, khususnya, merasa cemas akan kesehatan reproduksi hingga keselamatan bayi yang kelak akan dikandungnya.

"Saya (jadi) khawatir," tuturnya. "Takut, jadi saya tunda dulu punya anak."

Hal itu sesaat diamini Tio yang berujar "umur (istri saya) masih terlalu muda untuk punya anak", sebelum kemudian mengatakan: "tapi kalau dikasih, cepat dikasih, mau diapa."

Baca juga: Maskawin, dari Agama, Budaya, sampai Pilihan Unik

 

Penyesalan Darma yang kehilangan anak pertamanya

Aroma mi instan dan nasi goreng menyeruak dari arah dapur kecil di bagian bawah rumah panggung berdinding seng yang ditinggali Darma bersama suami dan anak terkecil mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com