Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Depi, Bocah 9 Tahun, Tegar Menemani Ayah yang Lumpuh

Kompas.com - 28/07/2019, 08:24 WIB
Dani Julius Zebua,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Sakijo (59) menggeser tubuhnya sambil merambat dalam posisi duduk dari kursi panjang ke dipan tempat tidur ruang depan dalam rumah ukuran 5x5 miliknya. 

Bekas penyadap nira kelapa asal Dusun Tangkisan 3, Desa Hargomulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu menderita lumpuh separuh badan dari pinggang ke kaki.

Hal itu menyebabkan hari-harinya diisi dengan merambat dalam posisi duduk dari kursi ke kursi, atau dari kursi ke dipan.

Pada ruang depan yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu itu, ada Putri Depi Nur’aini (9), anaknya semata wayang.

Depi, begitu gadis kecil berkulit langsat itu dipanggil, tengah menyapu lantas mengeluarkan ember bekas cat yang sudah dekil dari bawah dipan. Tidak banyak yang diucapkan Depi. 

Baca juga: Hilang Semalaman, Seorang Penyadap Nira Tewas di Bawah Pohon Kelapa

Bocahe purun (anaknya bersedia),” kata Sakijo, di rumahnya, Sabtu (27/7/2019).

Depi tidak pernah menolak ketika diminta membantu ayahnya, yang kini hidup dengan keterbatasan. 

Depi menginjak bangku kelas 4 sekolah dasar yang jauhnya sekitar 30 menit dari rumah mereka dengan jalan kaki.

Seperti kebanyakan anak-anak, Depi memang suka bermain. Namun, gadis kecil itu tidak menolak di saat Sakijo memerlukan bantuan.

Jatuh dari pohon

Sakijo mengalami lumpuh sejak ia jatuh dari pohon kelapa setinggi 8 meter pada pertengahan Agustus 2018 silam.

Ia tak lagi sanggup berdiri sejak itu. Posisi duduk adalah posisi paling tegak dari dirinya saat ini.

Rembetan mawon (hanya bisa merambat). Boten saget (tidak bisa berdiri). Kaki ini sangat sakit dipakai berdiri,” kata Sakijo. 

Dunia Sakijo jadi sempit kini, yakni hanya berdiam dalam rumahnya yang berdinding batako tanpa plester. Lantai rumahnya juga masih semen kasar.

Aktivitasnya di dalam rumah hanya sekitar dipan sebagai tempat tidur, kursi panjang di samping tempat tidur, yang semuanya ada di ruang tamu di rumah. 

Di situ pula dirinya makan, tidur, buang air besar menggunakan ember bekas cat dan pispot untuk air seni, hingga menonton televisi.

Kesempatan menikmati udara luar ketika mandi di depan pintu rumah. Itu pun dilakukan dengan terlebih dulu merambat pada kursi panjang yang sengaja dibawa ke luar rumah oleh tetangganya.  

Menderes atau menyadap nira merupakan pekerjaan pokok dirinya sepulang dari merantau dari berbagai daerah di Indonesia, baik Sumatera hingga Jawa Barat, 19 tahun lamanya.

Ia kembali ke Tangkisan tahun 2006. Sekembalinya ke Hargomulyo, lulusan sekolah dasar ini menekuni kegiatan membuat gula merah. 

Ia menceritakan mampu memanjat 13 pohon kelapa dalam satu hari, yakni pada pukul 06.00-06.30 dan 16.00-18.00.

Selain memanjat, ia juga sekaligus memasak nira itu menjadi gula merah. “Bisa dapat 3-4 kilogram sehari. Lantas dijual ke orang (pengepul),” kata Sakijo.

Pekerjaan menyadap nira berisiko jatuh dari pohon. Dan Sakijo mengalami hal ini, bahkan sampai dua kali.

Ia jatuh dari ketinggian 8 meter untuk pertama kali pada 2017, pingsan lantas masuk rumah sakit. Ia kembali memanjat usai sembuh. 

Setelah hidupnya sempat diwarnai stroke ringan, Sakijo kembali jatuh pada pertengahan Agustus 2018. Tragedi itu sangat fatal bagi dirinya.

Ia jatuh dari ketinggian 8 meter karena salah memegang pelepah pohon kelapa. Ia jatuh namun tidak pingsa. Ia sadar ketika itu bahwa dirinya tidak lagi bisa merasakan kedua tungkai kakinya.

Terpaksa ia berobat di rumah sakit. Namun, harapannya untuk bisa berjalan juga pupus setelah keluar masuk rumah sakit dan pengobatan alternatif yang tidak juga menunjukkan hasil.

Baca juga: Tradisi Sunatan Manggar Kampung Penyadap Nira di Lereng Merapi

Kedekatan dengan Depi, sejatinya tercipta sejak Sonah, istrinya, meninggal dunia pada tahun 2012. Depi berumur 3 tahun ketika Sonah divonis terserang kanker paru-paru.

Depi semakin lekat dengan Sakijo. Bahkan sehari-hari, ia ikut menemani Sakijo bekerja. Bila Sakijo naik pohon kelapa, Depi menunggunya di bawah. 

Kedekatan itu yang membuat Depi cukup sabar menemani Sakijo dalam keterbatasan. Depi sendiri mengaku tidak keberatan apapun disuruh ayahnya, mulai dari memasak air, membikin teh, ikut mencuci piring dan gelas.

Depi sendiri bercerita khas anak-anak, yakni singkat, kadang malu-malu. Sesekali, ia menutup mukanya dengan bantal dan bersembunyi di balik gorden.

Pingin jadi dokter. Pingin bapak cepat mari (ingin jadi dokter. Ingin ayahnya cepat sembuh),” kata Depi. 

Kaki Depi penuh debu karena tanpa alas kaki, Sabtu siang itu. Ia sebenarnya habis bermain sepanjang pagi sampai siang di rumah tetangga.

Ia langsung naik dipan tempat tidur Sakijo dan duduk di samping ayahnya itu. 

Sesaat ketika berada di rumah, Depi sempat mematikan televisi tabung ukuran kecil dan menyapu lantai rumah yang terbangun dari semen kasar, sebelum kembali keluar bermain di halaman rumah tetangga, yang juga kerabatnya. 

“Dia mau apa pun yang saya suruh. Anaknya baik dan mau apa saja," kata Sakijo.

Saudara tetangga terdekat

Rumah Sakijo berada di sebuah jalan semen yang sudah sangat rusak. Perlu waktu 15-20 menit jalan kaki melintasinya. 

Rumah Sakijo tidak sendirian karena diapit dua rumah lain di kanan kirinya. Pekarangan ketiga rumah itu terlihat lapang, dengan kebun kelapa yang tumbuh subur di sekelilingnya. 

Kamar mandi terpisah di seberang rumah. Tak jauh dari sana, ada kandang kambing. Suara mengembik kambing-kambing itu terdengar cukup nyaring. 

“Kami semua satu keluarga kakak dan adik. Sakijo kakak dan kami adik-adiknya. Rumah bersebelahan saja,” kata Jasman (50), adik kandung dari Sakijo. 

Karena rumah mereka berdekatan itulah, Jasman dan dua saudaranya yang lain bisa memberi perhatian pada Sakijo.

Mereka menggilir memberi perhatian, mulai dari mengantar Depi sekolah, mengangkat kursi ke depan rumah agar Sakijo bisa merambat lantas mandi di sana. 

Atau menyediakan makan untuk Sakijo maupun Depi. “Kami giliran karena sambil juga menjaga orangtua,” kata Jasman.

Sekalipun banyak mendapat perhatian, Sakijo mengaku belum memiliki gambaran pasti atas masa depan dan hari tuanya, apalagi masa depan Depi.

Terlebih, karena kini ia tak lagi memiliki penghasilan. Satu-satunya yang menjadi tumpuan hanyalah bantuan tunai dari Dinas Sosial Kulon Progo.

Itu pun sudah menipis. Masa depan Depi pun jadi taruhan.

Khusus untuk Sakijo, kini perhatian baru sebatas bantuan dari Dinas Sosial Kulon Progo sebesar total Rp 15.000.000, yang diterima secara bertahap setiap bulan sejak ia jatuh. 

Tapi, ia tak putus harapan. Depi, gadis kecilnya, tentu tak boleh putus sekolah.

“Sempat terpikir akan saya minta bantuan dan titipkan pada adik saya yang ada di Jakarta,” kata Sakijo.

Risiko pemanjat kelapa

Kepala Dukuh Tangkisan 3 Riana Heni Suyanti mengatakan, risiko penyadap nira memang begitu tinggi. Produksi gula kelapa ini pun jadi terasa tidak sebanding dengan risiko para penderes nira. 

“Apalagi kalau musim penghujan pohon menjadi licin dan perlu sangat hati-hati,” kata Riana via pesan singkat.

Baca juga: Menoreh Night Festival, Ajang Atraksi Wisata Budaya Andalan Kulon Progo

Ia mengungkapkan, apa yang menimpa Sakijo merupakan tragedi penyadap jatuh dari pohon yang terjadi dalam kurun 2 tahun belakangan.

Menurutnya, ini bukan satu-satunya. Kejadian serupa juga terjadi pada 2 penderes lain di dua dusun sekitar Tangkisan 3. 

Tangkisan 3 sendiri terdiri dari 315 kepala keluarga. Mayoritas mereka bekerja sebagai penderes nira kelapa, yakni suami menyadap nira, sedangkan sang istri memasak gula.

Masing-masing penderes bisa naik kelapa lebih dari 20 pohon dalam satu hari. Itu dilakoni pagi dan sore hari. “Bisa sampai 75 persen adalah penderes,” kata dia.

Mereka mampu menghasilkan 0,5 kilogram gula merah dari 1 pohon yang dipanjatnya pagi dan sore. 

Begitu minim hasilnya, membuat penderes tidak melulu bekerja menderes dan menghasilkan gula kelapa.

Penderes juga bekerja yang lain demi memperoleh penghasilan lebih baik, misal bertani, buruh bangunan, peternak hewan, hingga pengangkut kayu glondongan.

“Jadi, tidak murni hanya menderes saja,” kata dia.

Ia menambahkan, rata-rata usia penderes sekitar 30 sampai 55 tahun. Sangat jarang ditemui penderes dengan usia muda, apalagi belia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com