Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerap Banjir hingga Springbed Pun Muncul di Sungai, Ada Apa dengan Medan?

Kompas.com - 08/05/2019, 08:24 WIB
Dewantoro,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Kampung Baru, Sei Mati, Sukaraja dan Aur adalah tiga kelurahan yang menjadi langganan banjir ketika terjadi hujan deras, baik di Kota Medan maupun di wilayah hulu, misalnya di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang ataupun Berastagi, Kabupaten Karo.

Berbagai barang hanyut dan menambah sampah di pinggiran sungai membuat banjir lebih cepat terjadi dari waktu ke waktu.

Di empat kelurahan tersebut, banjir kerap menggenangi ribuan rumah penduduk. Banyak di antara warga yang meninggalkan rumahnya untuk sementara.

Banyak pula yang mengalami kerugian lantaran alat-alat elektronik dan perlengkapan rumahnya yang rusak karena luapan sungai membawa lumpur pekat.

Baca juga: Medan Banjir Terus, Ini Kata Gubernur Sumut Edy Rahmayadi

Bernard, warga Gang Pelita II, Kelurahan Kampung Baru, menuturkan, banjir kerap membawa berbagai sampah dan lumpur. Tidak itu saja, kadang batang pohon kayu maupun pohon pisang, ban bekas hingga bantal 'mampir' di samping rumahnya.

"Entah punya siapa, yang jelas dibawa hanyut dan sampai di samping rumah. Harusnya janganlah barang-barang kek gitu pun di buang ke sungai atau dibiarkan hanyut," katanya, Selasa (7/5/2019).

Seorang anak melompat dari titi (jembatan) di Kampung Aur, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, sesaat setelah banjir di Sungai Deli mulai surut, beberapa waktu lalu. Kota berumur 4 abad di ketinggian 25 MDPL ini tidak seharusnya banjir karena didesain oleh Belanda mengikuti perkembangan zaman.  KOMPAS.com/Dewantoro Seorang anak melompat dari titi (jembatan) di Kampung Aur, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, sesaat setelah banjir di Sungai Deli mulai surut, beberapa waktu lalu. Kota berumur 4 abad di ketinggian 25 MDPL ini tidak seharusnya banjir karena didesain oleh Belanda mengikuti perkembangan zaman.
Di Kelurahan Sei Mati, pengalaman Iyen lebih unik. Dia pernah menarik spring bed bekas dari pinggir sungai. Dia menariknya lantaran keberadaannya membuat lebih banyak sampah menyangkut sehingga semakin kotor.

Padahal, dia dan sebagian warga lainnya masih kerap beraktivitas, seperti bermain dan mencuci pakaian.

Baca juga: Cerita Gubernur Sumut Edy Rahmayadi Tegur Kepala Dinas Saat Banjir di Dekat Kantor Gubernur

 

Hal serupa juga masih dilakukan Reza di Kelurahan Sukaraja. Meski tinggal sedikit warga yang mencuci di sungai, namun dirinya salah satunya.

Dia mengaku pernah menemukan ban bekas berukuran besar yang menjadi tempat berkumpulnya bermacam-macam sampah.

"Gimana caranya ada di situ, kami tak tahu," ungkapnya.

Sementara itu, di Kampung Aur, Kelurahan Aur banjir juga nyaris tak pernah absen ketika curah hujan tinggi baik di hilir maupun di hulu.

Menurut Budi, warga setempat, banjir di Sungai Deli lebih sering disebabkan hujan deras terjadi di hulu. Namun lebih parah ketika baik di hulu maupun hilir terjadi hujan deras, maka banjir tak terelakkan.

Di tempat ini, ada lebih dari 400 kepala keluarga yang terdampak banjir luapan Sungai Deli. Akibatnya, mereka harus mengungsi di rumah tetangganya yang tak terrendam banjir atau tetap berada di lantai atas.

Baca juga: Semangati Korban Banjir, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi Bilang Malam Ini Saya Bersama Kalian

 

Sebagian besar warga di sini membangun rumahnya dua lantai sehingga barang-barang berharganya bisa selamat untuk sementara waktu ketika banjir.

Namun hal tersebut, menurut Budi, seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah. Sekitar tahun 2006-2007, pernah ada wacana dari pemerintah untuk membuat rumah susun bagi masyarakat namun ditolak karena konsepnya tidak jelas dan merugikan masyarakat.

Selama ini, masyarakat juga sering disalahkan karena dianggap sebagai penyebab banyaknya sampah di sungai. Di sisi lain, pemerintah tidak menyediakan fasilitas kebersihan yang layak bagi masyarakat.

"Kami di sini sudah sering mengampanyekan kebersihan agar sungai bersejarah ini bisa kembali seperti dulu. Kami rindu air yang jernih dan tak sering banjir. Lalu peran pemerintah apa," katanya.

Andri, warga lainnya, mengatakan, selama ini pemerintah lebih sering berbicara tentang pembangunan, seperti memiliki maksud menggusur masyarakat dari rumahnya yang sudah ditinggalinya secara turun temurun.

"Masyarakat mau diajak berdialog dan aksi untuk membahas bagaimana nasib kami, bagaimana sungai ini supaya tidak banyak sampah dan banjir. Tapi tak ada. Masyarakat mau kok bergerak selama untuk kebaikan semuanya," katanya.

Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan Wakil Gubernur Musa Rajecksah memantau lokasi genangan air,di kantor Gubernur Jalan Diponegoro, Jumat (5/10/2018).Tribun Medan/Azis Husein Hasibuan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan Wakil Gubernur Musa Rajecksah memantau lokasi genangan air,di kantor Gubernur Jalan Diponegoro, Jumat (5/10/2018).
Ada apa Medan?

 

Kota Medan belum bisa lepas dari masalah banjir. Selain banjir yang disebabkan oleh meluapnya air Sungai Deli yang mengalir dari dataran tinggi di Tanah Karo di bagian atas, Deli Serdang di bagian tengah dan Medan di bagian bawahnya, Kota Medan juga buruk terkait sistem drainase.

Menurut pengamat lingkungan, Jaya Arjuna, drainase adalah permasalahan utama kota Medan. Seringkali banjir terjadi di kota, tetapi sungai tidak meluap.

Baca juga: Banjir di Mana-mana, Wali Kota Medan Minta Maaf

Medan, lanjut dia, mengalami banjir dalam skala besar sejak tahun 2006. Dari hanya sedikit titik banjir, bertambah menjadi 80 persen Kota Medan menjadi titik banjir dan sekarang hampir seluruhnya terjadi banjir.

"Selama ini dilakukan banyak pengorekan parit. Pengorekan, itu mengalirkan air. Ternyata air tidak mengalir. Pengorekan itu sia-sia jadinya," katanya.

Pasalnya, terjadi sedimentasi dalam jumlah banyak di drainase.

Jaya mengatakan, Kota Medan tidak selayaknya kebanjiran karena berada di 25 meter di atas permukaan laut.

Kota Medan, menurut dia, dirancang sebagai kota berkelas Eropa oleh Belanda dengan membangun sistem drainase yang mumpuni namun tidak dikelola dengan baik oleh Pemerintah Kota Medan.

Baca juga: Hujan Deras Penyebab Kota Medan Banjir? Ini Komentar Wali Kota Medan dan Gubernur Sumut

Kota yang sudah berumur empat abad ini disebut sebagai Paris van Sumatera, secara fungsi menyerupai Bandung sebagai Paris van Java.

Desain kota dibuat sedemikian rupa dengan standar Eropa. Berbeda dengan Jakarta, Semarang dan Surabaya ketinggiannya setara dengan permukaan air laut.

"Pembangunan Medan ini tidak tanggung. Standar Eropa. Lalu ada 7 sungai buatan, di antaranya Sungai Bedera, Sungai Putih, Parit Busuk. Jadi Kota Medan ini dirancang tidak boleh banjir lalu kenapa sekarang banjir? Ini karena pemerintah tak mampu mengelolanya," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com