Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nurmala, Atlet Disabilitas yang Tak Suka Lihat Sesamanya Jadi Pengemis...

Kompas.com - 20/04/2019, 08:47 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Selama kepengurusan Alan, dirinya merasa diperhatikan dan hargai. Mungkin karena Alan juga seorang atlet sehingga tahu betul apa yang diinginkan dan butuhkan rekan-rekannya.

"Kalau bisa, dua periode dia jadi ketua. Di masa Alan, pemerintah baru mau menyamakan hak atlet difabel dengan atlet normal, termasuk masalah bonus," ungkap dia.

Baca juga: Jaket Asian Games untuk Mantan Atlet Disabilitas Peraih Medali Emas

Nurmala lalu teringat waktu pertama sekali bonus atlet diberlakukan di 2004. Saat itu dirinya sedang hamil lima bulan. Dia ngotot ingin bertanding demi bonus yang dijanjikan. Alhasil, dia merahasiakan kehamilannya.

"Kepengen merasakan bonus itu, saya sembunyikan kehamilan. Kebetulan tidak menggangu dan menang pula..." tuturnya ibu dari dua anak laki-laki yang semuanya terlahir normal ini.

Ditanya apa kegiatannya selain latihan dan persiapan bertanding. Nurmala dan suaminya punya usaha kecil-kecilan di rumahnya yang bisa membantu menutupi biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

Mulai jual gas elpiji sampai mengkreditkan barang-barang elektronik atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

Baca juga: Atlet Difabel Peraih Emas Dapat Bonus Rp 1,5 Miliar, Bangun Rumah hingga Berangkatkan Haji Sang Ibu

"Kalau mengharapkan penghasilan dari olahraga, tidak akan cukup. Apalagi hak para atlet difabel baru belakangan ini saja disamakan. Saya buka usaha di rumah, mulai jual gas sampai mengangsur-angsurkan barang. Apa yang dimintalah..." katanya kembali tertawa.

Tapi dia mengaku tidak pernah mengeluh, semua dijalani dengan sabar dan yakin. Ini juga yang selalu disampaikannya kepada sesama kawan-kawannya, agar tidak pernah patah semangat.

Bahkan harus bisa punya kelebihan yang tak dimiliki manusia normal, salah satunya adalah prestasi. Perjalanan dan pengalaman hidup musti menjadi modal untuk percaya diri dan terus bermanfaat.

"Saya berharap kepada pemerintah supaya memberi peluang pekerjaan bagi kami. Jangan ada diskriminasi... Kami juga banyak yang sarjana, berilah teman-teman disabilitas pekerjaan sesuai ilmu dan bidang mereka," ucapnya mewakili suara kelompoknya.

Baca juga: Cerita Nanda, Atlet Difabel yang Kaget Saat Diminta Bawa Obor Asian Games

Dalam pikirannya, dengan memiliki pekerjaan, kelompoknya akan punya harga diri. Mengangkat harkat dan martabat. Masalah ekonomi bagi kaum disabilitas sangat berpengaruh terhadap keluarga, terutama pada anak-anaknya.

Kalau ekonominya miskin, pasti banyak yang makin menyepelekan dan menganggap rendah. Namun kalau memiliki pekerjaan dan berpenghasilan yang layak, akan menjadi kebanggaan keluarga.

"Itu sudah saya buktikan kepada anak-anak saya. Kalau punya pekerjaan dan berpenghasilan, pasti anak-anak bangga, tidak akan disepelekan. Kalau tidak ada pekerjaan, inilah yang buat mereka jadi pengemis. Maunya jangan ada lagi penyandang disabilitas yang jadi peminta-minta di jalanan..." katanya dengan mimik sedih.

"Khusus bagi pemerintah dan instasi-instasi, jangan ada diskriminasi kepada disabilitas. Harapan saya, jangan ada lagi penyandang disabilitas yang menjadi pengemis lagi. Kesejahteraan bukan hanya penting untuk penyandang disabilitas itu sendiri, juga penting untuk keluarga dan anak-anaknya," ujar pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumut ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com