Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nurmala, Atlet Disabilitas yang Tak Suka Lihat Sesamanya Jadi Pengemis...

Kompas.com - 20/04/2019, 08:47 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Nurmala (43) adalah perempuan yang ramah dan periang. Meski ia disabilitas tunadaksa, dirinya merasa sama dengan manusia normal lainnya.

Saat bertemu Kompas.com di Pelatihan Monitoring Pelayanan Publik yang dilaksanakan oleh FITRA Sumut dan Ombudsman Provinsi Sumatera Utara di Hotel Antares Medan beberapa waktu lalu, ibu dua anak ini melepas tangan palsunya.

"Mengganggu, enakan begini, bebas..." katanya sembari tertawa.

Kami lalu memilih sudut ruangan, duduk di lantai dengan kaki berselonjor, cerita dimulai. Terlahir dengan kekurangan fisik, Nurmala kecil malah menyenangi olahraga.

Mendapat perlakukan layaknya manusia normal di keluarga dan masyarakat, membuat bakatnya semakin terasah dan menonjol. Cabang olahraga atletik meliputi lempar cakram, lembing dan tolak peluru yang diminatinya.

Baca juga: Cerita Penyandang Tunanetra Asal Aceh, Berjuang Jadi Caleg Demi Perjuangkan Hak Penyandang Disabilitas

"Yang masalah itu sama anak-anak, sempat mereka waktu kecil-kecil tidak percaya diri karena diejek-ejek temannya punya orang tua difabel. Sekarang malah bangga, karena apa yang mereka punya (kelebihan orangtuanya) belum tentu dimiliki orang lain," ucapnya.

Kebetulan, suami perempuan yang tinggal di Jalan Pendidikan Desa Seirotan, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara ini, juga atlet disabilitas cabang olahraga bowling, Mulyadi.

Sejak 2012 sampai 2016 sang suami membawa nama Provinsi Riau, karena di Sumut belum ada cabang olahraga bowling.

"Tapi nanti untuk PON Papua bawa nama Sumut karena peraturan gubernur sekarang, setiap atlet yang di luar daerah harus dipanggil dan tidak boleh bertanding membawa nama provinsi di luar KTP-nya," ujar perempuan berhijab itu.

Baca juga: Gubernur Edy Rahmayadi Harap 17 Atlet Disabilitas Bisa Banggakan Sumut di Asian Para Games

Kembali ke Nurmala, dia pertama kali masuk arena pada 1998 di Jawa Barat mengikuti Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas). Di sini, dirinya meraih tiga mendali emas.

Lanjut di 2004 di Palembang, satu mendali emas dari cabang olahraga lempar lembing disabetnya. Sementara perak dan perunggu untuk lempar cakram dan tolak peluru.

Empat tahun kemudian, dia bertanding di Kalimantan Timur dan meraih masing-masing satu mendali emas, perak dan perunggu. Kemudian 2012 bertanding di Pekan Paralimpiade (Peparnas) di Riau.

Terakhir bertanding di Jawa Barat pada 2016 dan meraih masing-masing satu mendali emas, perak dan perunggu. Di tingkat kejuaraan nasional (kejurnas), laga terakhirnya pada 2017 lalu.

Baca juga: Kisah Cinta Sejati Soeharto, Mantan Atlet Disabilitas yang Tetap Setia Merawat Istri

"Sekarang lagi persiapan untuk PON Papua, Oktober 2020 nanti. Saya targetkan dua mendali emas dan satu perak," katanya dengan mata berbinar.

Dia bilang, sekarang kesejahteraan atlet sudah jauh lebih baik. Menurutnya, semua tak lepas dari tangan dingin Ketua National Paralympic Committee (NPC) Sumut Alan Sastra Ginting yang sangat peduli dengan kesejahteraan para atlet.

Selama kepengurusan Alan, dirinya merasa diperhatikan dan hargai. Mungkin karena Alan juga seorang atlet sehingga tahu betul apa yang diinginkan dan butuhkan rekan-rekannya.

"Kalau bisa, dua periode dia jadi ketua. Di masa Alan, pemerintah baru mau menyamakan hak atlet difabel dengan atlet normal, termasuk masalah bonus," ungkap dia.

Baca juga: Jaket Asian Games untuk Mantan Atlet Disabilitas Peraih Medali Emas

Nurmala lalu teringat waktu pertama sekali bonus atlet diberlakukan di 2004. Saat itu dirinya sedang hamil lima bulan. Dia ngotot ingin bertanding demi bonus yang dijanjikan. Alhasil, dia merahasiakan kehamilannya.

"Kepengen merasakan bonus itu, saya sembunyikan kehamilan. Kebetulan tidak menggangu dan menang pula..." tuturnya ibu dari dua anak laki-laki yang semuanya terlahir normal ini.

Ditanya apa kegiatannya selain latihan dan persiapan bertanding. Nurmala dan suaminya punya usaha kecil-kecilan di rumahnya yang bisa membantu menutupi biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

Mulai jual gas elpiji sampai mengkreditkan barang-barang elektronik atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

Baca juga: Atlet Difabel Peraih Emas Dapat Bonus Rp 1,5 Miliar, Bangun Rumah hingga Berangkatkan Haji Sang Ibu

"Kalau mengharapkan penghasilan dari olahraga, tidak akan cukup. Apalagi hak para atlet difabel baru belakangan ini saja disamakan. Saya buka usaha di rumah, mulai jual gas sampai mengangsur-angsurkan barang. Apa yang dimintalah..." katanya kembali tertawa.

Tapi dia mengaku tidak pernah mengeluh, semua dijalani dengan sabar dan yakin. Ini juga yang selalu disampaikannya kepada sesama kawan-kawannya, agar tidak pernah patah semangat.

Bahkan harus bisa punya kelebihan yang tak dimiliki manusia normal, salah satunya adalah prestasi. Perjalanan dan pengalaman hidup musti menjadi modal untuk percaya diri dan terus bermanfaat.

"Saya berharap kepada pemerintah supaya memberi peluang pekerjaan bagi kami. Jangan ada diskriminasi... Kami juga banyak yang sarjana, berilah teman-teman disabilitas pekerjaan sesuai ilmu dan bidang mereka," ucapnya mewakili suara kelompoknya.

Baca juga: Cerita Nanda, Atlet Difabel yang Kaget Saat Diminta Bawa Obor Asian Games

Dalam pikirannya, dengan memiliki pekerjaan, kelompoknya akan punya harga diri. Mengangkat harkat dan martabat. Masalah ekonomi bagi kaum disabilitas sangat berpengaruh terhadap keluarga, terutama pada anak-anaknya.

Kalau ekonominya miskin, pasti banyak yang makin menyepelekan dan menganggap rendah. Namun kalau memiliki pekerjaan dan berpenghasilan yang layak, akan menjadi kebanggaan keluarga.

"Itu sudah saya buktikan kepada anak-anak saya. Kalau punya pekerjaan dan berpenghasilan, pasti anak-anak bangga, tidak akan disepelekan. Kalau tidak ada pekerjaan, inilah yang buat mereka jadi pengemis. Maunya jangan ada lagi penyandang disabilitas yang jadi peminta-minta di jalanan..." katanya dengan mimik sedih.

"Khusus bagi pemerintah dan instasi-instasi, jangan ada diskriminasi kepada disabilitas. Harapan saya, jangan ada lagi penyandang disabilitas yang menjadi pengemis lagi. Kesejahteraan bukan hanya penting untuk penyandang disabilitas itu sendiri, juga penting untuk keluarga dan anak-anaknya," ujar pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumut ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com