Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mappadendang, Tradisi Sambut Musim Panen di Polewali Mandar

Kompas.com - 13/02/2019, 15:48 WIB
Junaedi,
Khairina

Tim Redaksi


POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com – Menyambut datangnya musim panen tahun ini, petani di Desa Galeso, Kecamatan Wonomuyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat menggelar tradisi Mappadendang, Selasa (12/2/2019).

Seni Mappadendang adalah tradisi hiburan petani menyambut turunnya dewa padi atau Dewi Sri sebagai pembawa berkah bagi keluarga petani.

Menggunakan baju adat yang hanya dipakai pada saat pesta Mappadendang, sejumlah tokoh adat dari berbagai dusun di Desa Galeso memulai tradisi itu sebagai ritual adat menyambut datangnya musim panen tahun ini.

Berbagai sesajen seperti nasi ketan 7 warna dan lainnya dipersembahkan kepada dewa padi atau Sri yang dipercaya petani sebagai dewa pembawa berkah agar hasil panen petani lebih melimpah taun ini.

Baca juga: Sepanjang Januari, RSUD Polewali Mandar Rawat 21 Pasien DBD

La Rammang, tokoh adat yang juga Ketua Panitia Pesta Mappadendang yang juga dituakan di kampung tersebut mengatakan, tradisi ini telah dilakukan sejak dahulu, secara turun temurun oleh nenek moyang mereka hingga generasi milenial di belakangnya.

Tradisi ini dilakukan setiap setahu sekali dan digelar selama dua hari dua malam.

Tradisi serupa juga akan kembali digelar petani pascapanen nantinya sebagai ungkapan rasa syukur atas panen mereka yang melimpah.

"Ini sudah lama seperti ini, setiap setahun kami gelar. Siang malam kami gelar Mappadendang," katanya.

Kegiatan itu diawali dengan membacakan doa keselamatan bagi seluruh warga kampung. Ini dilakukan oleh seorang tokoh adat.

Saat sang tokoh adat memimpin upacara atau doa bersama perwakilan tokoh adat lainnya dari warga dusun tetangga ikut mengaminkan ritual suci tersebut.

Sejumlah makanan juga digelar di nampan atau baki yang terdiri dari beras ketan (sokko'), pisang, ayam dan menu makanan lainnya.

Semua ini dipersembahkan untuk sang Dewi Sri agar ia bermurah hati untuk meningkatkan hasil panen petani tahun ini.

Irwan, tokoh pemuda setempat mengaku sangat kagum terhadap warga setempat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan leluhur mereka.

Sebab, sudah jarang daerah yang melakukan tradisi seperti ini di tengah zaman yang sudah modern.

"Ini menarik sekali, sebab sudah jarang dilakukan oleh warga," katanya.

Irwan berharap, agar tradisi ini terus dan tetap dilestarikan agar anak cucu dan generasi penerus bangsa bisa melihat proses menumbuk padi secara tradisional.

"Ini bisa jadi pelajaran bahwa beginilah proses dahulu jika ingin menggiling padi," terangnya.

Baca juga: Kunjungi Vihara Dharma Bhakti, Anies Lepas Burung Pipit sebagai Tradisi Imlek

Budaya Mappadendang merupakan salah satu tradisi unik yang dilakukan oleh suku Bugis saat menyambut maupun usai panen padi.

Tradisi Mappadendang ini digelar sebagai wujud rasa syukur kepada sang Pencipta atas limpahan rezeki dan hasil panen padi yang diperoleh.

Mappadendang ini dilakukan oleh beberapa wanita dan laki-laki yang mengenakan pakaian adat.

Mereka secara bergantian memukul lesung menggunakan alu, sehingga menciptakan irama yang sinkron/serasi antara tumbukan yang satu dengan yang lainnya.

Alat yang digunakan yaitu berupa sebuah lesung yang besar dan panjang serta beberapa alu digunakan untuk menumbuk pada masing-masing orang yang terlibat di dalamnya.

Selain bentuk suka cita, ritual Mappadendang juga dimaksudkan untuk mempertahankan warisan budaya leluhur yang dikhawatirkan makin ditinggalkan generasi muda.

Kepekaan warga Galeso dalam menjaga budaya para leluhurnya, memang masih sangat kental. 

Kompas TV Diawali dengan persembahyangan di depan Wihara, kirab barongsai dan naga ini mengelilingi jalan di kawasan Wihara. Pada kirab ini 5 barongsai dan seekor naga diarak berkeliling sebagai bentuk ritual tolak bala. Di setiap persimpangan jalan yang dilalui peserta kirab dilakukan upacara Amita Puja ditandai dengan 5 sesaji yang terdiri dari 4 mata angin dan tengah. Usai upacara iring iringan naga dan barongsai melakukan atraksi berkeliling dengan musik khas tradisional Tionghoa. Menurut kepercayaan etnis Tionghoa tradisi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh buruk dan menolak bala serta memohon keselamatan kepada sang pencipta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com