Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dokter Gigi Penyelamat Hutan, Kliniknya Bayar Bibit Pohon hingga Beli Kembali Gergaji Mesin

Kompas.com - 12/02/2019, 09:48 WIB
Farid Assifa,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


PADANG, KOMPAS.com - Hotlin Omposunggu, seorang perempuan muda dokter gigi berjuang untuk menyelamatkan hutan di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat, dari pembalakan liar.

Cara yang dilakukannya unik, yakni dengan membuka klinik dengan pembayaran bibit pohon dan membeli kembali gegaji mesin.

Saat berbincang dengan Kompas.com dalam rangkaian acara BBC Get Inspired di Padang, Sumatera Barat, Senin (11/2/2018), perempuan asal Medan, Sumatera Utara, ini menceritakan awal mulanya dia tertarik menyelamatkan hutan di Kalbar.

Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran di Universita Sumatera Utara, Hotlin mendapat tugas sebagai dokter PTT di Desa Sukadana, Kalimantan Barat. Kebetulan desa tersebut berada di sekitar Taman Nasional Gunung Palung.

Saat bertugas di sana, ia menyaksikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat memprihatinkan. Ditambah hutan di daerah sana mulai berkurang akibat pembalakan liar.

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Polri Serius Tangani Pembalakan Liar

Menurut Hotlin, pembalakan liar dilakukan oleh masyarakat sekitar karena kebutuhan mendesak. Mereka menebang pohon untuk dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Bahkan ada sebagian masyarakat yang sudah mengutang terlebih dahulu beras, lauk pauk dan rokok. Nanti dibayarnya dari pembalakan liar itu,” beber Hotli.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka juga menebang pohon demi membiayai pengobatan. Hal itu terjadi sejak tahun 2000.

Masyarakat melakukan pembalakan liar karena tidak ada pilihan. Mereka tidak bisa berkebun karena tanah mereka sudah dijual untuk perkebunan sawit.

Akibat pembalakan liar itu, hutan di Taman Nasional Gunung Palung rusak. Dari total luas 90.000 hektar Taman Nasional Gunung Palung, 38 persen di antaranya sudah berkurang akibat pembalakan liar selama periode tahun 1988-2002. Belum lagi satwa orangutan dan lainnya terganggu.

Klinik “bibit pohon”

Berangkat dari keprihatinan itu, Hotlin pun berputar otak bagaimana caranya memperbaiki kehidupan masyarkat di Desa Sukadana dan sekitarnya, sekaligus juga reforestasi dan menyelamatkan hutan.

Akhirnya muncul ide membuat klinik dengan pembayaran bibit pohon. Ide itu terbersit di pikirannya, karena melihat banyak warga yang menebang pohon ilegal demi membayar biaya pengobatan.

Hotlin mendirikan klinik tersebut bersama rekannya, Kenari Webb pada tahun 2007. Klinik itu dinamai Alam Sehat Lestari atau disingkat Asri.

“Di kinik itu kami menyediakan 4 dokter umum dan 1 dokter gigi,” ujar perempuan yang masih lajang tersebut.

Untuk menawarkan skema tersebut tidaklah mudah. Ia harus mengumpulkan pembalak liar yang mayoritas warga sekitar hutan untuk diberi pemahaman tentang arti penting hutan dan alasan bibit pohon sebagai alat pembayaran biaya pengobatan.

Hotlin ingin masyarakat tetap sehat tetapi hutan pun tetap terjaga. Sebab, pohon yang diterima klinik akan ditanam kembali di hutan yang rusak (reforestasi).

Baca juga: Petugas Gakkum Ciduk Otak Pelaku Pembalakan Liar di Taman Nasional

Dengan upayanya yang telaten dan persuasif, akhirnya klinik dengan skema tersebut diterima. Masyarakat yang ingin berobat membayarnya dengan bibit pohon.

Ada pun bibit dibayarkan sejenis pohon yang ada di tengah masyarakat. Misalnya pohon jengkol dan gaharu atau meranti.

Pohon jengkol dihargai Rp 8.500. Sedangkan bibit pohon gaharu atau meranti dibeli Rp 20.000 per batang.

Jumlah bibit pohon yang dijual waga tergantung jenis penyakitnya. Misalnya, jika ada yang berobat menghabiskan Rp 50.000, maka bibit pohon yang harus dibayarkan adalah 6 batang.

“Tapi, ada juga yang membayar dengan uang. Kami juga terima,” kata dia.

Klinik Asri juga menerima “deposit” bibit pohon untuk pengobatan orangtua atau saudara warga. Misalnya, warga menabung bibit pohon sebagai persiapan untuk pengobatan ayah atau ibunya.

Lalu dari mana biaya pembelian obat dan operasional klinik? Hotlin menyebutkan, saat ini masih bantuan dari donatur, terutama mereka yang peduli lingkungan. Para donatur yang hendak melakukan reforestasi tinggal membeli bibit pohon di klinik itu.

“Uang hasil penjualan bibit itu dipakai untuk membeli obat,” ujar dia.

Beli kembali gergaji mesin

Meski sudah dibuka klinik dengan bayaran bibit pohon, namun pembalakan liar masih terjadi meski intensitasnya mulai menurun. Hotlin pun mencari cara lain untuk mengatasi persoalan itu.

Ia dan timnya kemudian menawarkan skema baru kepada warga pembalak liar, yakni membeli kembali gergaji mesin atau istilahnya “chainsaw buyback”. Skema itu dibentuk pada tahun 2007.

Lagi-lagi, untuk memberikan pemahaman kepada pembalak liar agar bersedia menjual gergaji mesinnya tidak mudah.

Apalagi, gergaji mesin itu bisa dikatakan alat utama mereka untuk mencari nafkah. Masih ada sebagian warga yang menolak.

“Kami kumpulkan mereka untuk sosialisasikan skema itu. Ada yang menolak dengan alasan tidak punya modal untuk usaha lain yang halal. Lucunya, yang menolak itu sambil merokok. Lah itu uang rokok dari mana? Sebungkus berapa, dan itu kalau dikumpulkan bisa jadi modal,” kata dia.

Setelah ditanya soal uang untuk beli rokok, mereka malah terdiam. Menurut Hotlin, sebenarnya uang rokok itu hasil mengutang dengan dibayar pohon yang dibalak secara ilegal itu.

Baca juga: Mantan Wapres AS Tanyakan Pembalakan Liar dan Korupsi ke Megawati

“Pada dasarnya mereka itu ingin mendapat pekerjaan lain dan tidak mau membalak. Tapi tidak ada pilihan karena mereka tidak punya apa-apa,” kata dia.

Akhirnya setelah dilakukan pendekatan secara persuasif dan memakan waktu cukup panjang, mereka bersedia menjual gergaji mesin ke klinik yang dikelola Hotlin. Selain itu, mereka juga diberi pelatihan wirausaha.

Menurut Hotlin, satu gegaji mesin dibeli seharga Rp 5 juta. Namun, ada tambahan uang Rp 5 juta untuk modal wirausaha. Jadi, satu gergaji mesin ditukar dengan uang Rp 10 juta.

“Mereka juga diberi pelatihan untuk wisausaha. Jenisnya tergantung minat. Kalau warga yang masih punya tanah, uang itu bisa dijadikan modal berkebun. Tapi, bagi yang tidak punya tanah, modalnya bisa dipakai untuk usaha lain,” kata dia.

Jumlah pembalak liar

Skema beli bibit dan beli kembali gergaji mesin membuahkan hasil. Selama dua tahun, klinik Asri membeli 70 unit gergaji mesin dari pembalak liar.

Banyaknya warga yang menjual gergaji mesin, praktis jumlah pembalak liar pun menurun. Dalam rentang waktu 10 tahun, jumlah pembalak liar menurun drastis hingga 80 persen.

Pada tahun 2007, jumlah pembalak liar di sekitar Taman Nasional Gunung Palung sebanyak 1.350 orang, dan pada 2017 menjadi sekitar 150 orang.

Baca juga: Bukan Pembalakan Liar, OrangutanTerancam Punah akibat Perburuan

“Tapi, memang masih ada pembalak liar di sekitar hutan itu. Tapi, jumlahnya enggak sebanyak dulu,” kata dia.

Parameter lain dari keberhasilan skema Hotlin adalah perubahan hidup per individu warga sekitar hutan. Berdasarkan pantauan timnya di lapangan, kehidupan ekonomi dan sosial mereka berubah ke arah yang lebih baik.

“Bahkan, kini mereka dari awalnya menjadi pembalak liar, kini menjadi penjaga hutan,” kata Hotlin, bangga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com