Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LSM elSA: Tahun 2018, Praktik Intoleransi Meningkat di Jawa Tengah

Kompas.com - 31/01/2019, 12:58 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Tren kebebasan berbicara dan berpendapat di Provinsi Jawa Tengah sepanjang 2018 masih menunjukkan sisi negatif.

Berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, ada 29 kasus menonjol yang disorot selama tahun tersebut.

Jumlah tersebut meningkat dibanding periode sama tahun 2017 yang hanya ada puluhan kasus pelanggaran. Namun seperti tahun sebelumnya, mayoritas pelanggaran yang terjadi masih didominasi penolakan terhadap kegiatan berbasis agama.

“Pelanggaran intoleransi masih didominasi kasus terorisme, kasus penolakan dan penghentian rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan," ujar koordianator advokasi dan pemantauan eLSA Semarang, Ceprudin, di Semarang, Kamis (31/1/2019).

Lembaga eLSA sendiri meluncurkan laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan di aula Gereja IFGS Semarang, Kamis pagi tadi. Hadir dalam kesempatan itu sosiolog agama Tedi Kholiludin dan pengamat Adrianus Bintang.

Baca juga: Sikap Intoleransi akan Gerus Nilai Kebangsaan

Dalam laporannya, tindakan intoleransi berkutat pada kasus-kasus bernuansa agama, pendirian rumah ibadah, dan konflik horizontal di kalangan masyarakat.

Kasus bernuansa agama tercatat ada 7 kasus, yaitu perusakan nisan salib di Magelang, perusakan kantor NU di Blora, penganiayaan ulama di Kendal, pemanggilan jemaat aliran keagamaan di Semarang, penolakan imunisasi di Temanggung, penolakan jenazah teroris di Brebes, dan polemik nyanyi di tempat ibadah di Salatiga.

Ceprudin menegaskan, dalam kasus-kasus tersebut, polisi berhasil mengamankan terduga pelaku. Hanya saja, pihaknya menyangsikan karena sebagian pelaku yang ditangkap berstatus tidak waras.

"Tiga kasus yang pertama, pelaku ditangkap kepolisian, tapi mereka diduga sakit jiwa. Apa benar begitu?" katanya.

Daftar kasus intoleransi

Sementara kasus-kasus intoleransi yang tercatat, yaitu penolakan pemakaman penganut aliran kepercayaan Sapta Darma di Jepara, perusakan gereja, sekolah dan kantor NU di Magelang, penolakan kegiatan peace training di Temanggung, penolakan kedatangan Abdul Samad di Semarang dan Jepara, konflik MTA dan warga di Kebumen, penolakan sedekah laut di Cilacap, dan penolakan peringatan Asyura di Semarang.

Selain itu, eLSA masih mencatat kasus penolakan serupa di tahun sebelumnya namun hingga kini masih belum jelas upaya penyelesaiannya. Penolakan tempat ibadah itu misalnya GITJ di Jepara, Masjid Ahmadiyah Kendal, dan kasus lain.

Sementara yang berkaitan dengan kasus terorisme, ada 14 kasus yang terjadi di Jawa Tengah.

Sosiolog agama dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, Tedi Kholiludin, mengatakan, kasus perusakan tempat ibadah dan kasus lain menunjukkan masih adanya gejala penolakan kebebasan berekspresi.

Baca juga: Menag: Cegah Intoleransi, Guru Besar Perlu Terjun ke Masyarakat, Bicara di Media Sosial

Semestinya, warga lebih terbuka dalam menerima perbedaan. Menerima perbedaan perlu dikampanyekan sebagai bentuk toleransi dalam beragama.

Tedi mendorong agar pemerintah ikut memikirkan jalan keluar atas kasus tersebut. Salah satunya adalah kepastian soal penggunaan bangunan untuk beribadah di Jepara dan Kendal.

"Kalau dua tempat ibadah itu tidak dicarikan solusinya, pasti akan mengurangi kadar demokrasi yang ada di Jawa Tengah," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com