YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Assalamualaikum Mbah Un," kata beberapa orang anak sambil membawa buku, saat mengunjungi rumah sederhana milik Untoro (60) warga Dusun Klampok, Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Rabu (30/1/2019) sore.
Untoro menyambut dengan ramah senyuman khasnya di pembaringan dengan kasur sudah tipis, sembil bersalaman satu per satu anak didiknya.
Beberapa gambar wayang yang digoreskan hasil tangan Untoro, selain itu ada beberapa rumus matematika juga ditempelkan di papan kayu.
Papan tulis kecil yang digunakan untuk belajar bersama juga terpasang rapi dihadapannya. Untoro, sosok pria yang hanya beraktivitas berbaring ini sudah mengajar (dia menyebutnya belajar bersama) anak-anak tetangganya sejak tahun 1985 lalu.
Baca juga: Batik Ciprat Langitan, Ladang Rezeki bagi Penyandang Disabilitas Desa Simbatan
Semangatnya luar biasa meski kedua tangan, dan kedua kakinya tidak sempurna. Bahkan dirinya tidak bisa duduk.
Anak-anak pun langsung membuka buku di meja kecil yang disediakan. Jika saat pelajaran matematika menulis di papan.
"Ayo tuliskan rumus balok," ucapnya kepada salah seorang anak. Saat itu seorang anak bertanya tentang pekerjaan rumah dari sekolah mengenai penghitungan volume kubus. Dengan santai layaknya seorang guru dia mengajarkan dengan lugas.
"Rumusnya P X L X T, ayo tulis dulu," ucapnya. Setelah ditulis pelan-pelan soal matematika mengenai dibaca dan mencoba memcahkan soal tersebut.
Baca juga: Mimpi dan Harapan Penyandang Disabilitas untuk Berperan Aktif di Pemilu 2019
Kegiatan belajar bersama anak-anak tetangganya dilakukan setiap sore hari, sepulang sekolah. Anak-anak yang datang pun tak tentu, Meski cuaca saat Selasa sore, mendung tetapi tak menyurutkan langkah kecil anak-anak.
"Setiap sore sejak puluhan tahun lalu anak-anak belajar bersama saya. Saya begini (terbaring) karena sakit sejak jatuh di ladang saat SMP kelas 2 sekitar tahun 1976. (Kondisi) ini saya terima dengan senang hati," kata Untoro.
ke halaman selanjutnya
Setelah jatuh berbagai macam penyakit silih berganti menggerogoti tubuh mudanya. Dia sempat mengalami sakit tenggorokan hingga 19 hari tidak bisa makan dan minum. Sampai akhirnya lumpuh, dan hanya terbaring sampai saat ini.
"Awalnya mereka itu bermain disini, lalu mereka meminta untuk mengajari pelajaran sekolah. Waktu itu (sempat bimbang) apakah ijeh kelingan (Masih ingat), apalagi kurikulumnya berbeda,"ucapnya.
Dia sendiri memiliki latar belakang belajar hanya sampai kelas 2 SMP. Setiap hari mulai pelajaran matematika hingga bahasa Jawa diajarkan. Hingga pelajaran agama.
"Lalu mereka ke sini membawa buku, padahal saya sekolah tahun 1975, jadinya belajar bareng," katanya.
Baca juga: Mengenal Abah Rizal, Personel Damkar Khusus Tangani Binatang Buas
"Setiap selesai belajar saya memainkan wayang, agar mereka senang. Di saat itu diselipi tentang pelajaran hidup. Selain itu juga belajar mengaji, karena Agama untuk membuat hati menjadi tenang," ucap pria kelahiran tahun 1959 ini.
Menurut dia, pelajaran mengenai kehidupan dan budi pekerti sangat penting untuk kehidupan anak saat ini. Sebab, pesatnya media mulai dari televisi dan gawai membuat anak tidak konsentrasi dalam belajar.
"Mereka harus diarahkan dalam belajar, karena handphone, rintangan TV, dan sekolah menjadi terbengkalai," ucapnya.
"Menuntut ilmu hukumnya wajib harusnya dipelajari sungguh-sungguh. Ibaratnya mobil tidak punya lampu jalan malam hari bisa nabrak. Matematika, sisipkan agama, agar bisa bermartabat dan berkarakter," katanya.
Baca juga: Mengenal Lasiyo, Penjaga Toko yang Jadi Profesor Pisang, hingga Jadi Pembicara di Luar Negeri
Ke halaman selanjutnya
Ditemani radio kuno sisi kanannya, setiap hari Untoro menghabiskan waktunya. Sesekali dirinya menggambar wayang, yang nantinya dibantu muridnya memotong sehingga menjadi sebuah wayang.
"Yang menggambar saya, yang memotong anak-anak,"ucapnya.
Mbah Un mengaku sudah tak ingat berapa orang yang sudah diajarinya. Namun beberapa dari yang pernah belajar bersamanya dan sudah bekerja selalu mengunjunginya.
"Ada yang menjadi guru, kalau pas bisa selalu ke sini menengok," katanya.
Baca juga: Mengenal Adul, Siswa yang Merangkak Sejauh 3 Km demi Sekolah
Meski dengan segala keterbatasan, Untoro tak pernah mematok biaya. Yang terpenting anak bisa belajar bersamanya.
"Anak-anak yang kesini tidak ada yang dipungut biaya. Tetapi kadang orang tua murid ada yang membawa teh, atau makanan," kata Sundari, adik kandung Untoro yang tinggal serumah.
"Kalau ada yang membawa roti tetapi tidak diserahkan, ya dia tidak makan. Sampai di waktu yang lain ditanyakan siapa yang membawa dan tujuannya apa. Baru Mbah Un mau makan,"katanya
Sundari menceritakan, kakaknya merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Sejak sakit dirinya yang mengurusi.
Baca juga: Mengenal Melisa, Menggapai Mimpi dengan Kedua Kakinya
"Dia itu tidak bisa duduk, bisanya hanya berbaring saja. Karena zaman dulu ya, pengobatannya masih tradisional, tidak tahu sakit apa. Dari perut seperti mengeras, kedua kakinya meringkuk, dan tangannya seperti itu," katanya.
Dia mengaku bersyukur meski sakitnya tidak bisa disembuhkan, kakaknya tetap semangat dalam melayani masyarakat.
Bersambung ke :Kisah Untoro Penyandang Disabilitas, Semangat Mengajar Anak-anak Walau dengan Berbaring (2)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.