Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang Mencari Air, Hidup Kering di Karang Dawa (1)

Kompas.com - 16/01/2019, 16:11 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Khairina

Tim Redaksi


CIREBON, KOMPAS.com – “Ambil air setiap hari. Kalau enggak ngambil air, ya mau masak dan mandi pakai apa, anaknya banyak. Bapak (suami) diam aja di rumah,” kata Popon (30) saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (4/1/2019).

Popon adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Dusun Karang Dawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dia hidup bersama Kadi (35) suaminya serta empat orang putra putrinya, Lina (13), Alam (12), Rafa (8), dan Arsa (4 bulan).

Setiap pagi, Popon keluar rumah dengan membawa dua buah ember kosong. Dia berjalan kaki menuju sumur milik warga yang jaraknya sekitar 500 meter.

Setiba di lokasi, Popon mengantre bersama warga lain, yang juga memiliki kebutuhan sama, mencari air bersih.

Kadang, Popon berangkat Subuh atau bahkan malam agar tidak mengantre. Popon tidak ingin bayinya yang baru lahir empat bulan lalu menangis terlalu lama menunggu ibunya mencari air.

“Berebut airnya. Jadi harus berangkat lebih awal, kalau enggak berangkat malam, ya lama dapet air,” ungkap Popon.

Baca juga: Galian C Ilegal di Kota Tasikmalaya Sebabkan Bencana Kekeringan Parah

Air bersih itu kemudian Popon bawa pulang untuk memenuhi enam atau tujuh ember kosong di rumah untuk masak dan kebutuhan enam orang.

Ini dilakukan karena Popon tak memiliki pompa, apalagi sumur. Mereka berenam hidup dalam keterbatasan.

Popon adalah seorang pembantu rumah tangga sedangkan Kadi hanyalah tukang pijit yang dibayar seikhlasnya.

Mereka tinggal di bangunan berukuran sekitar tiga kali lima meter persegi. Hanya ada dua ruang yang tersekat triplek untuk berbagai aktivitas: tidur, menyimpan barang, pakaian, dan lainnya.

Tak ada dapur, hanya tumpukan batu bata dan kayu bakar di samping rumah untuk memasak. Tak ada kamar mandi, hanya spanduk lusuh persegi empat sebagai penutup saat mandi.

Pandi, Ketua RT 04 RW 01 Dusun Karang Dawa, menyampaikan kesulitan air yang dialami Popon juga dialami sebagian warga setempat. Salah satu faktornya adalah letak geografis dusun yang berada di dataran tinggi.

Sumber mata air baru ditemukan setelah menggali tanah cukup dalam, baik melalui metode keduk sumur ataupun bor. Ini yang membuat tarif pekerja gali sumur terlampau tinggi.

“Satu warga minimal harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 10.000.000 untuk membuat sumur dengan kedalaman lebih dari 20 meter,” jelas Pandi.

Kondisi kesulitan air sudah dialami sejak lama. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga memilih ke sungai untuk mandi dan mencuci. Sementara air untuk masak dan minum, warga yang mampu membeli Rp 4.500 per satu galon, atau seperti Popon mencari ke tetangga.

Pemerintah desa pernah memberikan solusi di tahun 2016 dengan membuatkan satu sumur bor atau jetpam. Lokasinya di Madrasah Ibtidaiyah.

Pandi mengingat, kedalamannya sekitar 45 meter. Itu ada penampungannya yang dimanfaatkan para warga sekitar. Namun, keberadaan jetpam itu hanya bertahan sebentar. Mesinnya rusak, karena terbakar.

Lahan pertanian kering tanpa air

Kesulitan air juga terjadi di lahan pertanian. Salah satunya menimpa lahan pertanian yang digarap Kasir (60).

Pria yang sudah menjadi petani sejak kecil ini menggarap empat titik, yang masing-masing titik seluas 400 bata atau 3 meter 75 centimeter persatu bata.

Usahanya tidak mudah, Kasir sudah membuat sumur bor lebih dari sepuluh kali, dengan kedalaman bervariasi. Ada yang memiliki kedalaman 10 meter, tak sedikit yang di atas 25 meter.

“Ada yang kedalaman sumur bornya mencapai 20, 25, 10 meter dan lainnya. Ada yang keluar air tapi campur pasir. Tidak semua titik yang sudah dibor, keluar air. Ada satu titik yang memiliki air tapi jaraknya jauh, sehingga butuh modal,” kata Kasir.

Baca juga: Krisis Air Bersih di Ponorogo Akibat Kekeringan Meluas hingga 10 Kecamatan

Pria yang melanjutkan profesi ibu kandungnya ini coba menghitung. Dalam satu tahun, Kasir kerap kali hanya panen satu kali. Dari total 4 titik atau sekitar satu hektar, Kasir hanya mendapat satu ton beras. Kualitas padinya pun tidak optimal. Hasil kuantitas dan kualitas padi itu akan meningkat pada musim hujan.

“Kalau kekurangan air, hasil padi jelek, tidak tumbuh dengan baik, dan panen satu tahun satu kali. Kalau di musim hujan bisa dua kali,” ungkap Kasir.

Pasangan Ratimah (60) yang sudah dikaruniai sebelas cucu dari lima orang anak menyebut, biaya produksi paling besar untuk kebutuhan air. Hitungan kasar Kasir, berjumlah sekitar dua juta rupiah untuk satu kali panen. Dia mengaku sangat membutuhkan bantuan pemerintah untuk membuatkan satu sumber mata air bagi para petani.

“Belum, belum pernah, bantuan apa. Sebetulnya dikasih air saja sudah bahagia. Ada air kan pertanian dan perkebunan bisa subur,” kata Kasir penuh harap.

Kompas TV Area persawahan di Kecamatan Ciasem, Sukamandi dan Patokbeusi sudah 2 bulan terakhir kekeringan. Petani di 3 kecamatan itu pun tidak bisa menanam benih padi di sawah mereka menyusul masih rendahnya curah hujan serta terhentinya pasokan air dari Waduk Jatiluhur. Tidak banyak yang bisa dilakukan petani selain berharap hujan segera turun untuk mengairi sawah mereka. Sejumlah petani lain yang sempat menanam benih dengan pasokan air seadanya mendapati padi mereka tumbuh tidak maksimal. Hasil panennya hanya bisa digunakan sebagai pakan ternak.



Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com