"Rata-rata mengungsi ke situ, karena ada sanak saudara. Anak-anak juga sekolah," kata Wati.
Untuk mengungsi ke desa seberang, tambah dia, harus menggunakan perahu mesin dan membayar ongkos Rp 10 ribu.
"Kami enggak punya sampan, jadi harus naik robin (perahu mesin) milik warga sini. Jadi kami terpaksa mengungsi karena air cukup dalam di dalam rumah. Kami takut air naik lagi," ucap Wati.
3. Ekonomi lumpuh
Selama dua pekan banjir, perekonomian warga Desa Buluh Cina lumpuh. Bagaimana tidak, warga tidak bisa bekerja bukan hanya karena rumahnya yang kebanjiran, tetapi perkebunan sawit dan karet.
Apalagi, masyarakat di sini rata-rata petani dan sebagian nelayan.
Menurut Sabariah (51), ada ribuan hektar kelapa sawit dan ratusan hektar kebun karet masyarakat yang dilanda banjir.
"Suami saya sama sekali tidak bisa bekerja. Untuk makan kami masih mengandalkan stok kebutuhan yang masih tersisa. Kadang cari ikan," kata Sabariah, Senin (17/12/2018).
Nazir (44) salah satu petani mengaku tidak bisa pergi bekerja memanen sawit dan juga menyadap karet.
"Enggak bisa panen. Sawit dan karet banjir. Untuk keluar rumah saja susah," aku Nazir.
Dia juga mengaku, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, terpaksa mencari ikan di lokasi banjir. Sehingga, makan makanan seadanya.
"Ikan banyak kalau sudah banjir. Dapat untuk makan saja. Bantuan dari pemerintah belum ada," kata Nazir yang sudah lebih sepekan banjir saat itu.
4. Bantuan lambat datang
Pemerintah Kabupaten Kampar memang sangat lambat dalam memberikan bantuan kepada korban banjir. Hampir seluruh warga yang tinggal di pinggir sungai kebanjiran selama sepekan banjir tak mendapat bantuan.
Seperti halnya di Desa Buluh Cina. Meski saat ini banjir sudah surut, tapi bantuan makanan masih minim.