Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eva Dewi, Lawan Stigma dengan Sepak Bola (2)

Kompas.com - 23/10/2018, 15:36 WIB
Reni Susanti,
Khairina

Tim Redaksi


BANDUNG, KOMPAS.com – Pertahanan Eva Dewi runtuh. Badannya lunglai, air mata pun menetes. Ia kemudian memeluk rekannya dari Rumah Cemara dan menangis tersedu-sedu.

“Saya nangis karena ingat almarhum (Ginan Koesmayadi),” ujar Eva kepada Kompas.com, belum lama ini.

Ginan Koesmayadi merupakan pendiri Rumah Cemara, organisasi komunitas yang bergerak dalam perlindungan penderita HIV-AIDS di Indonesia.

Bagi Eva, Ginan adalah sahabat yang luar biasa. Ia kerap menguatkannya ketika Eva terpuruk. Apalagi Eva kerap mendapatkan stigma negatif setelah ia dinyatakan positif HIV.

“Ginan suka berkata, kalau ada masalah, enggak cukup nangis. Tapi berdoa, yakin, sabar, dan ikhtiar,” ungkap Eva.

Stigma Negatif

Tahun 2010, Eva dinyatakan HIV positif. Ia tidak begitu kaget ataupun terlalu terpuruk mendengar vonis tersebut. Sebab sebelum dites, ia sadar berisiko tinggi HIV.

“Saya orang terakhir yang tes HIV. Teman-teman saya (pengguna narkoba suntik) sudah periksa duluan dan HIV positif,” katanya.

Baca juga: Inilah Eva Dewi, Atlet Perempuan Indonesia Pertama di Homeless World Cup (1)

Hal yang membuat ia khawatir adalah perasaan keluarga besar. Sedangkan keluarga inti, ia yakin bisa menerima kondisinya dengan baik.

“Keluarga besar saya semua ada. Dari dokter sampai guru. Mereka pasti sedih dan kecewa pada saya,” ucapnya.

Begitu pun dengan teman. Mereka mendadak berubah dan menjauhi. Bahkan, setelah mengetahui mengidap HIV, suaminya tidak mengakui status pernikahannya.

Pengalaman paling kelam ia rasakan saat melahirkan anak ketiga. Tidak ada seorang pun yang menemani ataupun menjenguknya selama di rumah sakit.

Namun ia tetap tegar, menjadi orangtua tunggal bagi ketiga anaknya. Walaupun itu tidaklah mudah. Ia pernah bekerja serabutan dengan penghasilan Rp 25.000 per hari.

Uang sebesar itu, biasanya ia belanjakan 3 butir telur, 2 bungkus mi instan untuk kebuthan hidup dua hari. Tidak lupa, ia pun membeli popok untuk anak ketiganya yang saat itu baru berusia 8 bulan.


Waktu berlalu, namun stigma tak kunjung berhenti. Bahkan, anak ketiganya yang menjadi imbas. Saat itu, salah satu tetangganya menceritakan status HIV Eva kepada ibu-ibu murid TK tempat anak bungsunya belajar.

“Anak saya bilang, di sekolah dede enggak ada teman, semua teman jauhi dede,” tuturnya.

Mendengar itu, Eva berkata pada anaknya, “Tidak apa tidak punya teman, dede tetap sekolah saja. Mungkin temannya lagi enggak pengen main sama dede, tapi nanti biasa lagi”.

Tak berapa lama, Eva pun mendatangi sekolah. Ia meminta tolong pada guru anaknya untuk berkata kepada ibu siswa bahwa ia akan menceritakan langsung apa itu HIV. Apalagi, anaknya negatif HIV.

“Waktu itu, saya bisa menuntut tetangga yang menyebarkan status saya. Tapi langkah itu tidak saya ambil. Ketika saya mendapat stigma, saya tidak lari. Tapi saya akan mendekati mereka dan menjelaskan sebisa saya apa itu HIV-AIDS,” ungkapnya.

Hal itu pula lah yang membuat teman Eva sedikit demi sedikit bersikap kembali normal kepadanya.

Sepak Bola

Kecintaan Eva pada olahraga, membawa Eva pada seleksi tim nasional perempuan Homeless World Cup 2013.

Rencananya, Indonesia akan mengirimkan dua tim dalam ajang itu, yakni laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Kiper Indonesia Jadi Bintang di Homeless World Cup

Namun, tim perempuan gagal berangkat. Kembali, Eva tidak patah semangat. Ia makin menggemari olahraga. Hingga akhirnya ia bergabung di Rumah Cemara sebagai staf Sport for Development, sebuah program pemberdayaan kaum marginal melalui olahraga.

Di sana, Eva menyeleksi pemain yang akan bergabung di timnas HWC setiap tahun.

Ia kemudian mendapat lisensi dari KNVB (Koninklijke Nederlandse Voetbalbond) Belanda untuk menjadi pelatih wanita.

Tak hanya itu, lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) ini pun menjadi manajer perempuan pertama untuk kelompok belia di klub sepak bola Rumah Cemara, DKRC (Dalem Kaum Rumah Cemara).

Bersama DKRC belia, Eva terpilih mewakili Indonesia untuk mengikuti festival sepak bola di Lyon Perancis pada 2016. Ajang tersebut merupakan salah satu acara pembukaan Piala Eropa (UEFA European Championship).

Tiba di tahun 2018, kesempatan untuk Eva memperkuat tim Indonesia di HWC kembali datang. Ia ikut seleksi dan lolos. Eva pun menjadi atlet perempuan Indonesia pertama dalam HWC.

“Saya tidak tahu apakah keluarga saya bangga atau tidak pada saya. Yang saya yakini, mereka bukan benci pada saya, tapi kecewa. Mereka bukan mendiskriminasi, tapi sedih,” tuturnya.

Eva mengatakan, stigma ataupun diskriminasi yang selama ini ia terima, tak pernah membuatnya terpuruk.

Ia malah semakin semangat untuk membuktikan, ia bisa berkarya dan berprestasi. Salah satunya melalui sepak bola.

Kompas TV Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) mendesak suporter sepak bola di Indonesia untuk membuat nota damai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com