Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nadran dan Ider Ider Tulang Dinosarus di Cirebon

Kompas.com - 01/10/2018, 09:14 WIB
Windoro Adi,
Heru Margianto

Tim Redaksi

 

“Kami dapat gambar bagus, siluman serigala, di internet. Lalu, kami meminta pendapat warga tentang gambar itu. Warga pun setuju jika siluman serigala ini jadi ider ider kami, warga Blok Lawang Gede, Desa Mertasinga,” ujar Radika (45).

Selama sebulan, ia bersama lima orang warga lainnya membuat ider ider serigala siluman setinggi 3,9 meter dengan panjang 2,5 meter.

“Kami menghabiskan biaya Rp 3 juta hasil urunan warga,” ucap Radika bangga.

Ider ider ini dilengkapi lampu, dan rekaman auman suara serigala. Sebagai sumber listriknya, di bagian belakang kereta ider ider dipasang jenset berkapasitas bensin 10 liter.

Siluman serigala itu berwarna kuning dengan dua ular kobra di belakangnya. Di dekatnya, terdapat sesajen berisi hasil bumi hingga kerupuk melarat dan kemenyan. Siluman itu tengah mengambil usus seorang raja.

“Enggak tahu, ini raja siapa, dan ceritanya gimana,” ujar Radika.

Menurut Nasirudin, dalam pawai nadran kali ini, pemerintah daerah menyumbang dana Rp 26 juta.

“Kalau dihitung semuanya, biaya nadran ini bisa mencapai miliaran rupiah yang sebagian besar berasal dari dana mandiri warga,” jelas Nasirudin.

Ini belum termasuk pengabdian para seniman di wilayah Cirebon yang turut berpartisipasi dalam nadran selama puluhan tahun. Pergelaran wayang kulit, misalnya, selama ini dipersembahkan dalang di Gegesik secara turun temurun.

“Orang Gegesik ikut andil dalam syiar Islam bersama Sunan Gunung Jati,” ujar Dalang Suganda (67) yang pentas di nadran sejak 1979.

Menanggapi munculnya mayoritas ider ider yang tidak ada hubungannya dengan syiar Islam dan ucapan syukur warga atas hasil bumi dan laut yang mereka dapat kepada Tuhan, Mustaqim menyesalkan.

“Beberapa tahun belakangan, ider ider yang keluar dari konteks nadran ini semakin banyak, bahkan sudah menjadi mayoritas pawai ider ider. Ider ider ini menjadi semata ekspresi bebas yang cenderung liar, dan kadang kurang santun. Salah satu contoh adalah ider ider kuda dengan, maaf, alat vital kuda yang bisa digerak-gerakkan, yang saya saksikan dua tahun lalu. Lalu ada tarian kaum homoseks di atas ider ider,” ungkapnya.

Wakil Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI), Sihabudin, menyampaikan hal senada.

“Kian hari, acara nadran seperti tontonan yang makin kehilangan tuntunannya. Yang penting asal heboh, dan semakin membuka peluang para pedagang kaki lima berjualan,” tegasnya, Jumat (28/9/2018).

Di Indramayu, lanjutnya, hal ini belum terjadi. Selain karena jalur pawainya lebih pendek, nadran di Indramayu lebih mementingkan upacara melarung kepala kerbau ke laut.

“Khusus acara nadran di Indramayu, kami tak jemu selalu mengingatkan bupati agar memertahankan esensi acara nadran, yaitu ekspresi ucapan syukur, dan syiar Islam. Biarlah ekspresi ider ider yang lebih bebas muncul pada pawai seperti pawai memeringati hari jadi Indramayu,” tambah Sihabudin.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com