Salin Artikel

Nadran dan Ider Ider Tulang Dinosarus di Cirebon

KOMPAS.com - Di hari Minggu (23/9/2018) nan terik, ribuan orang memadati Jalan Raya Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, hingga Jalan Siliwangi, Kota Cirebon. Jaraknya sekitar 4 kilometer. Ratusan pedagang kaki lima yang sebagian  besar dadakan, mengokupasi seluruh trotoar hingga bahu jalan.

Warga bersorak saat ider ider (Bali: ogoh ogoh, atau patung besar yang diarak) melintas. Mereka yang membawa kamera telepon pintar cepat beraksi menangkap momen ini.

Maklum, inilah acara pawai nadran atau sedekah laut terbesar di kawasan Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka, Jawa Barat. Seperti tak ingin melewatkan peristiwa tersebut, para ibu yang menggendong dan anaknya, mendekati ider ider.

Ada sekitar 200 ider ider yang muncul dalam pawai ini. Ider ider dibuat warga di setiap kampung ke Kecamatan Gunung Jati.

Warga RT 12 RW 04 Desa Jatimerta, membuat ider ider Paksi Naga Liman (mahluk berkepala gajah, berbadan naga, bersayap garuda) dengan tinggi 2,5 meter dan panjang 4 meter.

“Kami membuatnya bersama-sama dengan biaya Rp 3 juta,” ujar salah seorang pembuat ider ider itu, Adrianto (18).

Warga di Blok Pekuncen, Desa Astana, membuat ider ider Pangeran Adipati Keling. Adipati Keling adalah juru kunci makam pertama Makam Sunan Gunung Jati, wali penyebar agama Islam di Cirebon.

Sang Adipati mengenakan mahkota dan duduk di dalam singgasana dengan asap kemenyan di hadapannya. Tinggi ider ider 4,8 meter dengan panjang mencapai 8 meter. Dari balik kendaraan yang membawa ider ider, terdengar rekaman shalawatan.

“Biaya membuat ider ider ini, Rp 10 juta. Kami berdagang pakaian untuk mengumpulkan dana. Ada belasan warga mengerjakan ider-ider ini selama 1,5 bulan tanpa dibayar. Ini semua gotong royong,” ujar Syahron (25), bendahara panitia Blok Pekuncen.

Nasirudin, penjaga makam Sunan Gunung Jati 21 tahun terakhir sekaligus penasihat panitia nadran, mengatakan, hadirnya ider-ider Adipati Keling ini juga sebagai sebuah kritik kepada Pemerintah Cirebon yang dinilai kurang memerhatikan 121 pengurus makam.

“Selama ini, kami hidup dari sumbangan peziarah,” ucapnya sembari memegang mangkok berisi uang koin dan kertas.

Nazar Keraton Singapura

Nadran berasal dari asal kata nazar. Filolog naskah naskah  kuno Cirebon, Opan Rahman Hasyim yang dihubungi terpisah, Sabtu (22/9/2018), menjelaskan, Raja Keratuan Singapura (1373-1445), Ki Gedeng Tapa bernazar, jika putrinya, Nyimas Subang Kranjang (atau Subang Larang, atau Suweng Rancang, atau Kencana Larang) berhasil menamatkan belajar Al Quran, Ki Gedeng Tapa akan mengarak putri hasil pernikahan Ki Gedeng Tapa dengan Siti Syarifah ini, dari Bukit Sembung ke Singapura yang  beribukota di Mertasinha atau Mertasinga (kini nama satu desa di Kecamatan Gunung Jati).

Nyimas Subang Krajang belajar Al Quran pada Sheikh Kuro atau Sheikh Hasanudin bin Yusuf Shidik di Krawang.

“Di era Sunan Gunung Jati, di tahun 1479 – 1568, acara ini tetap berlangsung, tetapi berubah tema menjadi atur bekti (persembahan sebagai ucapan syukur) kepada Tuhan atas hasil pertanian dan hasil laut, sampai hari ini,” ungkap Opan.

Pengamat arsip sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja yang juga dihubungi, Sabtu (29/8/2018) membenarkan.

“Menurut catatan John Crafrut, asisten Letnan Gubernur Jawa, Thomas Stamfor Raffles, Singapura (atau Sinhapura atau Puri Singa) ini dulunya pernah menjadi satu pusat pemerintahan di kawasan Cirebon,” tutur Mustaqim.

Catatan John Crafrut tahun 1815 ini, lanjut Mustaqim, berkenaan dengan pendataan kembali nama nama desa di Cirebon terkait pemungutan pajak desa.

Di tahun itulah, tepatnya 21 April 1815, Keraton Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan dilikuidasi, dilumpuhkan.

Elit keraton di Cirebon menjadi hanya kepanjangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kala itu dalam kendali Inggris. Empat tahun kemudian atau tahun 1819, Raffles mengubah nama kawasan Tumasik menjadi Singapura yang kini menjadi negara.

Singapura sebagai awal pemerintahan di kawasan Cirebon, tambah Mustaqim, tampak dari nama nama desa di lingkungan Kecamatan Gunung Jati, antara lain Desa Astana (sinonim dengan istana), Desa Buyut (Buyut sebagai simbol awal satu kawasan), Desa Babadan (Dari kata babad, babad alas, atau pembukaan wilayah baru), Desa Mayung (Dari kata payung. Payung ratu), dan Desa Mertasinga.

Periset catatan sejarah Keraton Kanoman, Farihin, menambahkan, Keraton Singapura menjadi pintu masuk perubahan mayoritas masyarakat pemeluk Hindu dan Budha menjadi masyarakat yang mayoritasnya Muslim di Cirebon dan wilayah lainnya seperti Indramayu sampai Majalengka dan Kuningan.

“Ki Gedeng Tapa lah yang membawa perubahan ini. Dalam konteks ini, sudah selayaknya acara nadran, semarak diikuti daerah lain di luar Cirebon,” jelas Farihin, Sabtu (29/9/2018).

Kehilangan konteks

Di antara ider ider, tampak ider ider tikus, siluman serigala, kerangka tulang ikan, kerangka tulang dinosaurus, orang yang mengenakan popok mirip tuyul, tokoh film kartun Doraemon, naga merah bersayap seperti sering muncul dalam dongeng di daratan Eropa. Ada pula ider ider supermarket lengkap dengan seruan diskon barang barangnya.

“Kami dapat gambar bagus, siluman serigala, di internet. Lalu, kami meminta pendapat warga tentang gambar itu. Warga pun setuju jika siluman serigala ini jadi ider ider kami, warga Blok Lawang Gede, Desa Mertasinga,” ujar Radika (45).

Selama sebulan, ia bersama lima orang warga lainnya membuat ider ider serigala siluman setinggi 3,9 meter dengan panjang 2,5 meter.

“Kami menghabiskan biaya Rp 3 juta hasil urunan warga,” ucap Radika bangga.

Ider ider ini dilengkapi lampu, dan rekaman auman suara serigala. Sebagai sumber listriknya, di bagian belakang kereta ider ider dipasang jenset berkapasitas bensin 10 liter.

Siluman serigala itu berwarna kuning dengan dua ular kobra di belakangnya. Di dekatnya, terdapat sesajen berisi hasil bumi hingga kerupuk melarat dan kemenyan. Siluman itu tengah mengambil usus seorang raja.

“Enggak tahu, ini raja siapa, dan ceritanya gimana,” ujar Radika.

Menurut Nasirudin, dalam pawai nadran kali ini, pemerintah daerah menyumbang dana Rp 26 juta.

“Kalau dihitung semuanya, biaya nadran ini bisa mencapai miliaran rupiah yang sebagian besar berasal dari dana mandiri warga,” jelas Nasirudin.

Ini belum termasuk pengabdian para seniman di wilayah Cirebon yang turut berpartisipasi dalam nadran selama puluhan tahun. Pergelaran wayang kulit, misalnya, selama ini dipersembahkan dalang di Gegesik secara turun temurun.

“Orang Gegesik ikut andil dalam syiar Islam bersama Sunan Gunung Jati,” ujar Dalang Suganda (67) yang pentas di nadran sejak 1979.

Menanggapi munculnya mayoritas ider ider yang tidak ada hubungannya dengan syiar Islam dan ucapan syukur warga atas hasil bumi dan laut yang mereka dapat kepada Tuhan, Mustaqim menyesalkan.

“Beberapa tahun belakangan, ider ider yang keluar dari konteks nadran ini semakin banyak, bahkan sudah menjadi mayoritas pawai ider ider. Ider ider ini menjadi semata ekspresi bebas yang cenderung liar, dan kadang kurang santun. Salah satu contoh adalah ider ider kuda dengan, maaf, alat vital kuda yang bisa digerak-gerakkan, yang saya saksikan dua tahun lalu. Lalu ada tarian kaum homoseks di atas ider ider,” ungkapnya.

Wakil Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI), Sihabudin, menyampaikan hal senada.

“Kian hari, acara nadran seperti tontonan yang makin kehilangan tuntunannya. Yang penting asal heboh, dan semakin membuka peluang para pedagang kaki lima berjualan,” tegasnya, Jumat (28/9/2018).

Di Indramayu, lanjutnya, hal ini belum terjadi. Selain karena jalur pawainya lebih pendek, nadran di Indramayu lebih mementingkan upacara melarung kepala kerbau ke laut.

“Khusus acara nadran di Indramayu, kami tak jemu selalu mengingatkan bupati agar memertahankan esensi acara nadran, yaitu ekspresi ucapan syukur, dan syiar Islam. Biarlah ekspresi ider ider yang lebih bebas muncul pada pawai seperti pawai memeringati hari jadi Indramayu,” tambah Sihabudin.

Ogoh Ogoh

Keadaan ini jauh berbeda dengan ketika masyarakat Bali yang  beragama Hindu mengawali perayaan tahun saka sebelum Nyepi, dengan pawai ogoh ogoh dan ibadah.

Meski telah jauh dari kampung halaman mereka, pawai ogoh ogoh yang digelar di Monas (Monumen Nasional), Jakarta Pusat, tanggal 15 Maret 2010, misalnya, tetap memiliki konteks.

Di Bali, pawai ogoh ogoh menjadi peristiwa parwisata yang ditunggu wisatawan lokal dan asing, dan tentu saja mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit. Di Cirebon, pawai ider ider dalam nadran, belum menghasilkan pendapatan berarti.

Menurut Mustaqim, sebenarnya pawai ider ider ini jika penyelenggaraannya bisa dikelola dengan baik, target pendapatan sekaligus syiar Islam yang ramah dan kreatif ini bisa dicapai maksimal. Tentu saja jika peristiwa ini dirancang jauh hari, dengan sistem pengamanan dan ketertiban yang memadai.

“Kalau soal perubahan tampilan pad a ider ider, enggak masalah, tetapi tetap pada konteksnya, dan bisa diperkaya misalnya dalam konteks kritik sosial. Warga pembuat ider ider perlu pendampingan orang orang yang berkompeten untuk mengarahkan pembuatan ider ider agar tetap kontekstual, tanpa mengurangi kemerdekaan warga berkreasi,” tutur Mustaqim.

Dalam acara nadran di Cirebon hari Minggu (23/9/2018), Kabid Pemasaran Area I Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI, Wawan Gunawan, saat memberi sambutan di Desa Astana menyampaikan, acara ini termasuk dalam 100 acara budaya di Indonesia yang dilestarikan oleh Kemenpar RI.

Kepala Disbudparpora Kabupaten Cirebon, Hartono, menambahkan, acara ini bisa meningkatkan kegiatan dan pemasukan sektor pariwisata.

Di balik pidato mereka, sayup sayup masih terbayang ider ider tulang ikan bergerak perlahan di antara keramaian pawai. Ider ider ini seolah mengingatkan pupusnya imajinasi dan kreativitas warga dalam mengucap syukur, dan bersyiar Islam.

Padahal, laut menawarkan bermacam kemungkinan, seperti halnya bermacam pilihan imajinasi di tanah Pasundan. 

https://regional.kompas.com/read/2018/10/01/09144961/nadran-dan-ider-ider-tulang-dinosarus-di-cirebon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke