Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keseharian Bocah Nursaka, Sekolah di Indonesia lalu Bantu Ayah Cari Kaleng Bekas di Malaysia (3)

Kompas.com - 15/09/2018, 13:14 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

 

Selain berkebun, Darsono juga memelihara ternak seperti ayam, bebek dan kelinci. Dari hasil menjual hasil kebun itulah, Darsono menghidupi keluarga dan membiayai anaknya sekolah.

Saka mulai bersekolah di Entikong sejak TK. Saat itu, setiap hari Darsono dan istrinya, Julini,  bergantian menemani anaknya berangkat hingga pulang sekolah bolak-balik melintasi perbatasan.

Mereka menyekolahkan Saka di Entikong karena kemudahan untuk mendapatkan akses pendidikan seperti warga Indonesia lainnya. Pasalnya, banyak syarat khusus yang harus dipenuhi untuk menyekolahkan Nursaka di Tebedu daripada di Tanah Air.

“Waktu itu Saka masih kecil, baru 5 tahun, gak berani dilepas sendirian, takut kenapa-kenapa di jalan. Maklum lah, anak masih belum tahu apa-apa kan,” ujar Darsono.

Hari berganti hari, Saka pun lulus TK dan mulai masuk ke jenjang sekolah dasar. SD Negeri 03 Sontas di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, menjadi pilihan orangtuanya untuk Saka.

Awalnya, Saka masih diantar dan ditemani hingga jam pelajaran sekolah usai. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena sang ibu hamil dan melahirkan adik bungsu Saka, Nurman, yang saat ini berusia satu setengah tahun.

Nursaka (8), bocah SD asal Indonesia yang melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia setiap hari demi bersekolah. Dia tinggal bersama keluarganya di di Tebedu, Malaysia, dan berangkat ke sekolah setiap hari di Entikong, Indonesia. Setiap hari, dia harus terus membawa pas batas negara dan melintasi Imigrasi.KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Nursaka (8), bocah SD asal Indonesia yang melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia setiap hari demi bersekolah. Dia tinggal bersama keluarganya di di Tebedu, Malaysia, dan berangkat ke sekolah setiap hari di Entikong, Indonesia. Setiap hari, dia harus terus membawa pas batas negara dan melintasi Imigrasi.

Otomatis, kesibukan sang ibu mengurus anak dan kesibukan sang ayah mengurusi kebun membuat keduanya tak punya waktu untuk mengantar Saka ke sekolah. Sejak duduk di kelas 2, Saka tak lagi ditemani orangtuanya berangkat ke sekolah.

Setiap pagi, saka berangkat menumpang kendaraan orang menuju PLBN Entikong. Kemudian dilanjutkan dengan naik ojek langganan yang saban hari menjemput dan mengantarnya kembali dari PLBN Entikong ke sekolah dengan biaya Rp 10.000 per hari.

Nasi sisa dan kaleng bekas

Setiap pukul 05.00 sore waktu setempat, Darsono selalu membawa kedua anaknya, Nursaka dan Yoga, untuk mengambil nasi sisa di salah satu rumah makan yang berada sekitar 2 kilometer dari tempat tinggal mereka. Nasi sisa itu digunakan untuk memberi makan hewan ternak yang mereka pelihara.

Di sela mengambil nasi sisa untuk ternak, Darsono mengajak anak-anaknya berkeliling kompleks pertokoan Tebedu, pom bensin, dan perkampungan menggunakan mobil minibus butut keluaran lawas bekas milik adiknya yang dipinjamkan kepadanya.

Nursaka (8), bocah SD asal Indonesia yang melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia setiap hari demi bersekolah. Dia tinggal bersama keluarganya di di Tebedu, Malaysia, dan berangkat ke sekolah setiap hari di Entikong, Indonesia. Di luar jam sekolah, Nursaka membantu ayahnya mengumpulkan kaleng bekas atau merawat ayam peliharaan.KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Nursaka (8), bocah SD asal Indonesia yang melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia setiap hari demi bersekolah. Dia tinggal bersama keluarganya di di Tebedu, Malaysia, dan berangkat ke sekolah setiap hari di Entikong, Indonesia. Di luar jam sekolah, Nursaka membantu ayahnya mengumpulkan kaleng bekas atau merawat ayam peliharaan.

Mereka lalu singgah di setiap tempat sampah yang ditemui untuk mencari kaleng bekas minuman. Nursaka dan adiknya selalu bersemangat mengumpulkan kaleng-kaleng bekas itu.

Kaleng-kaleng itu nantinya akan dijual ke pengepul yang datang dari Kuching setiap beberapa bulan sekali.

Hasil dari penjualan kaleng itu kemudian ditabung Nursaka di sebuah celengan plastik berbentuk ayam berwarna biru yang dimilikinya sejak kecil.

Aktivitas berkeliling dan mengumpulkan kaleng setiap sore merupakan salah satu upaya Darsono supaya anaknya tidak jenuh di rumah.

“Saya memberi motivasi kepada anak-anak untuk mewujudkan keinginan mereka dengan cara menabung. Misalnya mereka ingin membeli sesuatu, kayak sepeda atau lainnya, saya tanamkan semangat menabung itu. Mereka pun semangat mengumpulkan kaleng-kaleng bekas itu,” ujar Darsono saat Kompas.com mengikuti keseharian aktivitas keluarga ini di Tebedu, Sarawak, Malaysia, Rabu (12/9/2018) sore.

Saka merupakan sosok anak yang gemar menabung. Setiap kali mendapatkan uang, entah itu dari hasil menjual kaleng atau diberi oleh orang-orang seperti petugas imigrasi atau polisi yang mencarikannya tumpangan untuk pulang saat di PLBN, uang itu selalu dia tabung.

“Uangnya untuk bantu biaya kuliah kakak. Nanti kalau kakak sudah kerja, bisa gantian biayai saya sekolah,” ujar Saka polos.

Pasalnya, uang yang ditabungnya sejak usia dua tahun dalam celengan, pernah dibongkar dan digunakan sang ayah untuk membantu biaya kuliah kakaknya di Jember.

Bersambung ke halaman 3

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com