Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Pendidikan Itu Tidak Mengenal Kaya dan Miskin

Kompas.com - 11/07/2018, 10:07 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Tokoh masyarakat Jawa Barat yang peduli pendidikan, Dedi Mulyadi menilai, kebijakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) sebagai salah satu syarat masuk sekolah negeri dan sekolah favorit adalah salah kaprah.

Akibatnya, kata Dedi, malah banyak warga membuat SKTM palsu demi anaknya bisa masuk ke sekolah negeri atau favorit. Seperti yang terjadi di Jawa Tengah.

Dedi mengatakan bahwa pendidikan itu adalah hak seluruh rakyat. Dengan demikian, pendidikan itu tidak mengenal kaya dan miskin.

"Pendidikan itu tidak mengenal kaya dan miskin. Istilah surat tidak mampu itu penyesatan. Istilah miskin dan kaya kan sudah jelas itu urusan di dinas kependudukan, bukan buat SKTM. SKTM itu kan jadul, zaman order baru," jelas Dedi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (11/7/2018).

Menurutnya, semua warga Indonesia wajib mengenyam pendidikan 12 tahun. Jika sudah disebutkan wajib, maka pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas pendidikan dan tidak mengotak-otakan antara kaya dan miskin atau berprestasi dan tidak berprestasi.

Mantan bupati Purwakarta dua periode itu menceritakan pengalamannya soal kebijakan pendidikan di daerahnya.

Baca juga: Mendusta dengan SKTM Palsu demi Sekolah Anak (1)

Dedi menjelaskan, saat sekolah SD hingga SMA masih ditangani pemerintah kota dan kabupaten, pihaknya mewajibkan semua sekolah untuk menerima siswa di sekitarnya tanpa pandang bulu. Semua siswa harus diterima baik di sekolah negeri favorit atau tidak berdasarkan asas domisili.

"Sekolah-sekolah favorit seperti SMA Negeri 1, SMA 2 dan SMA 3 dengan standardisasi nilai tertinggi, ketika sekolah masih kewenangan daerah, saya minta sekolah favorit jangan ada yang menolak siswa di kelurahan tempat sekolah tersebut," jelas Dedi.

Lalu jika sekolah tersebut tidak mampu menampung siswa, maka dibangunkan ruang kelas baru. Adapun biayanya selain dari bantuan pemerintah juga ada swadaya dari masyarakat. Sumbangan tersebut tidak ditentukan oleh sekolah, melainkan atas inisiatif masyarakat mampu melalui jalur musyawarah.

Bentuk sumbangan pun, kata Dedi, bukan dalam bentuk uang, melainkan barang dan tenaga. Ada yang menyumbang semen, besi dan bahan bangunan lainnya.

"Untuk orang tua anak-anak yang tidak mampu bisa menyumbang tenaga. Misalnya, tukang tembok tak mampu bayar, maka bisa jadi tukang tembok gratis," jelas Dedi.

Dengan kebijakan ini, kata Dedi, maka siswa-siswa yang tidak mampu pun tetap bisa bersekolah di sekolah negeri favorit tanpa harus membuat surat keterangan tidak mampu.

"Makanya SKTM untuk sekolah favorit itu tidak benar. Yang benar, kaya dan miskin diberi ruang untuk sekolah. Setelah sekolah, maka mampu dan tidak mampu tidak menjadi ukuran, karena kewajiban pemerintah untuk menyiapkan fasilitas untuk pendidikan warganya," tegas Dedi.

Baca juga: Lihat Warga Ajukan SKTM Pakai Motor 250 CC, Priyanto Lapor Polisi

Kebijakan lainnya saat itu, lanjut Dedi, adalah seluruh SMP diubah menjadi SMA negeri sehingga bisa menampung banyak lulusan SMP. Sebaliknya, untuk siswa SMP disediakan sekolah SD, sehingga sekolah SD dan SMP menjadi satu atap dan jenjang pendidikan 9 tahun.

"Sehingga saat sekolah diserahkan kewenangan ke pemprov, banyak sekolah baru. Hampir seluruh siswa SMP 90 persen tertampung di SMA dan SMK," kata pria yang pernah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2018 ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com